Saturday, November 12, 2011

Menjadi Terang yang Efektif

Nats : Efesus 5:11-13 Minggu lalu kita telah membicarakan bagaimana Paulus dalam Efesus 5 menekankan perubahan yang bukan sekedar secara atribusi tetapi perubahan natur secara mendasar yaitu dari kita yang adalah kegelapan menjadi kita yang adalah terang. Maka kata ‘adalah’ bukanlah sesuatu yang boleh ada atau tidak tetapi menjadi satu status natur yang esensial, menjadi dirinya dari pada orang tersebut. Hal tersebut sangatlah serius karena hanya mempunyai dua pilihan yaitu gelap atau terang, dan itu menyangkut esensi natur diri kita yang sesungguhnya. Maka iman Kristen bu-kan berbicara hal yang fenomena tetapi menunjuk pada satu hakekat esensial yang ada didalam diri kita yang kemudian baru menampilkan diri keluar. Sehingga penampilan merupakan efek daripada natur dan bukannya penampilan dibentuk lalu natur mengikutinya. Ini merupakan dua proses yang berbeda sama sekali. Kita adalah terang karena kita sekarang diubah, dikeluarkan dari bapak kegelapan menuju kepada bapak kita yang asasi. Sehingga jikalau sekarang kita boleh menyebut Allah kita sebagai Bapa, Dia yang adalah terang, maka kita pun yang dicipta menurut gambar dan rupa Allah juga adalah anak-anak terang. Itulah yang menjadi konsekuensi logis dari satu kaitan natur yang harusnya terjadi! Dalam kaitan tersebut kita juga telah menyinggung sedikit tentang tugas kekristenan yang mempunyai dua cara bersaksi, yang pertama: sebagai garam dunia yang bersifat permiade (meng-garami), yang berarti ia larut atau hilang dengan cara merembes masuk, mengasinkan yang ada disekelilingnya. Kedua: tuntutan menjadi terang dunia, yang berarti kita harus menerangi, tampil di tempat paling atas dan bersinar secara terang, inilah yang disebut dengan beradiasi (memancarkan terang). Alkitab mengatakan bahwa kamu adalah garam dunia dan kamu yang sama adalah terang dunia. Dengan demikian kalau kita adalah terang maka bagaimana kita berekstensi, melakukan perbuatan dan aktivitas didalam terang. “Janganlah turut mengambil bagian dalam perbuatanperbuatan kegelapan yang tidak membuahkan apa-apa, tetapi sebaliknya telanjangilah perbuatan-perbuatan itu,” (ay. 11). Berarti menjadi terang bukan sekedar yang penting terang tetapi melakukan aktivitas menelanjangi semua kegelapan sehingga kegelapan itu boleh tampak. Hal ini berarti bahwa kegelapan itu tidak dapat kita acuhkan begitu saja tetapi terang itu mempunyai tun-tutan yang aktif menyatakan terang itu keluar. Banyak orang seringkali merasa menjadi terang atau begitu rohani ketika hidup secara terisolir dengan berdoa dan berpuasa. Hal itu wajar apabila dilakukan untuk sekedar merefresh kembali tetapi akan salah jikalau itu sudah mengubah konsep hidup rohani kita. Dalam Yoh 17 dikatakan: “Aku tidak meminta, supaya Engkau mengambil mereka dari dunia, tetapi supaya Engkau melindungi mereka daripada yang jahat, … Sama seperti Engkau telah mengutus Aku ke dalam dunia, demikian pula Aku telah mengutus mereka ke dalam dunia.” Tuhan memanggil kita supaya kita masuk ke tengah dunia dan itulah spiritual sejati. Sehingga bagaimana kita di tengah dunia yang penuh dengan kegelapan dapat meradiasikan dan tidak menjadi sama dengan mereka yang berada didalam kegelapan. Di tengah dunia, panggilan ini membuat kita sadar bahwa didalamnya ada satu tuntutan dimana kita tidak boleh mengekslusifkan diri tetapi naik ke atas kaki dian supaya terpancar. Ini-lah panggilan menjadi terang Tuhan yang dipanggil untuk kita maju kedepan. Didalam panggilan spiritual seperti ini seringkali kita menghadapi tantangan yang paradoks sekali, khotbah yang menekankan konsep terang dunia terkadang menimbulkan umpan balik yang terbawa didalam format dualistik. Disinilah kemudian seolah timbul gap antara tuntutan menjadi terang dengan realita yang harus dihadapi oleh orang Kristen saat ini. Satu tuntutan proses yang menunjukkan adanya satu perubahan yang berjalan terus-menerus, perubahan yang menuju pada satu titik kesempurnaan yang diharapkan. Tuhan menuntut kita melakukan tindakan aktif yang benar-benar terjun dan mengarap dunia kita dengan jiwa proses bertumbuh. Yang kedua, kita tidak merasakan diri kita menjadi aman rohani ketika kita sendiri tetapi kita justru dipanggil untuk terjun di tengah dunia ini. Ini yang didalam Reformed Theology disebut sebagai Cultural Mindate (mandat budaya). Orang Kristen bukan terang ketika ia berada di dalam gereja tetapi ia menjadi terang ketika ia terjun ke setiap bidang yang ditekuninya. Terang sejati adalah dimanapun kita berada kita adalah terang dan proses itu digarap disemua bidang. Semangat menjadi terang harus merupakan semangat umpan balik kepada diri kita. Setiap kali kita menjadi terang itu berarti Tuhan menuntut kita untuk rela mendapatkan tantangan dari kegelapan dan ketika menjadi terang maka disitu sifat-sifat ilahi akan memancar untuk meniadakan kegelapan. Ini berarti ada satu pancaran yang begitu kuat untuk meradiasi keluar. Jiwa mau belajar, bertumbuh dan rela untuk dievaluasi itu harus menjadi semangat kita. Namun sering kali terutama didunia timur terdapat persaingan yang tidak sehat, dimana ketika seseorang bertumbuh itu menjadikan kesempatan orang yang melihat ingin belajar tetapi justru sebaliknya mereka iri dan berkeinginan menghancurkannya. Jiwa seperti ini bukanlah jiwa terang. Semangat seperti ini harus dibuang dari anak-anak Tuhan! Setiap kita harus rela melihat orang lain lebih hebat dari kita dan disamping itu juga harus memacu diri untuk melangkah maju lebih lagi. Semangat itu menjadikan kita dapat menjadi terang yang besar sekali yang akan memancar ke tengah dunia ini. Terang itu bukan karena kita berkapasitas top tetapi terang seringkali dimanifestasikan dari integritas kita yang memancar keluar. Saya ingin kita bertumbuh didalam kualitas seperti ini. Jangan kita mematikan kesempatan setiap orang untuk menjadi terang yang sebesar-besarnya dan sebaliknya mari kita mulai dari diri kita sendiri mau menjadi terang yang besar. Biarlah kalau melihat orang lain maju itu bukan menjadikan kita iri ingin menghancurkannya tetapi justru menjadi iri yang memacu kita maju, bersaing secara sehat. Sehingga dengan semangat seperti itu, maka kita tidak pernah berhenti. Bagaimana kekeristenan kita? Sebelum kita memancarkan terang (be a light), memancarkan terang yang seterang-terangnya. Tuhan menginginkan ketika kita memancarkan terang maka terang itu bukan sekedar untuk menyilaukan orang dan membuat orang menjadi begitu tidak suka tetapi di satu pihak mempunyai satu jiwa supaya sambil memancarkan terang, orang lain dapat menjadi terang. Dalam ayat 13, Paulus jelas memberikan motivasi ini. “Tetapi segala sesuatu yang sudah ditelanjangi oleh terang itu menjadi tampak sebab semua yang tampak adalah terang.” Didalam bahasa Indonesia penulisan kata menelanjangi cukup kaku namun idenya adalah bagaimana ketika kita menyatakan terang kepada orang lain maka orang tersebut dapat menjadi terang. Bagaimana pergumulan saya bukan sekedar untuk mengecam orang tetapi mengubah orang. Didalam hal ini bagaimana semangat jiwa injilli kita muncul sehinga setiap kita mempunyai kerelaan untuk dipakai Tuhan supaya orang lain melihat terang dan menjadi terang. Itu semua harus digarap di dalam diri kita. Gereja Reformed Injili seringkali diasumsikan orang mempunyai standar teologi yang baik tetapi didalam prakteknya kita mengecam atau menghancurkan orang yang tidak berteologi Reformed. Memang itu mungkin tidak seratus persen benar namun ada kemungkinan dapat terjadi hal seperti ini. Jika gerakan reformed hanya dimengerti sebagai satu mercusuar teologi lalu se-mua yang lain dikecam dan dihancurkan maka reformed akan berhenti dengan jumlah yang tidak bertambah dan mati karena semuanya tidak dapat diimplementasikan dengan baik. Itu bukanlah jiwa dari John Calvin yang menegakkan teologi Reformed. Calvin adalah orang yang begitu setia melayani dengan kehidupan yang terpancar, keinginan yang menjadikan semua orang mengerti teologi Reformed dan tahu bagaimana belajar firman Tuhan dengan baik serta membina mereka sehingga akhirnya teologi reformed dapat berkembang besar. Oleh sebab itu teologi reformed yang kokoh harus disertai dengan satu jiwa injili. Sehingga bagaimana dengan doa dan kerelaan, cinta kasih yang sekuat mungkin kita ingin supaya orang lain juga dapat melihat, mengerti dan akhirnya menjadi terang. Ini jiwa misi yang harusnya muncul di setiap anak Tuhan. Tanpa semangat ini maka tidak ada artinya menjadi terang, radiasi dan sinar yang kita lontarkan tidak akan menghasilkan apa-apa, hanya menghasilkan kehancuran. Mari kita diubah dan dibentuk oleh Tuhan sehingga kita bukan saja mengerti proses merembes masuk dan meradiasi di tengah dunia, rela berproses untuk maju baik didalam diri maupun kepada orang lain, tetapi yang kedua kita juga mempunyai kekuatan dan keinginan untuk mempertumbuhkan diri dengan kualitas yang semakin tinggi, sehingga pancaran terang kita semakin lama semakin luas dan kuat dan akhirnya dapat memancarkan terang. Ketika membicarakan terang, di ayat 22 hingga 33 Paulus langsung mengkaitkan dengan konsep keluarga, dimana satu-persatu mulai dibereskan supaya kita tahu persis bagaimana keluarga seharusnya dibina. Terang justru harus dimulai dari keluarga terlebih dahulu sehingga disitu setiap orang dalam keluarga tersebut dapat menjadi citra terang bagi seluruh keluarga. Jiwa masyarakat modern membuat kita tidak pernah lagi mendapat pendidikan bagaimana membina sebuah rumah tangga yang baik sehingga akibatnya keluarga modern terancam dengan kerusakan yang mengerikan dan jiwa berkeluarga hilang. Sehingga itu membuat kita tidak mengerti lagi peranan suami, istri dan anak dan akhirnya keintiman atau keterikatan keluarga tidak terjalin. Dimana keluarga rusak maka disitu terang tidak dapat menyala lagi dan ini yang setan sangat inginkan. Saya rindu orang-orang kristen waspada terhadap hal seperti ini. Alkitab mengatakan dunia ini makin lama makin mengerikan dan makin gelap, sehingga bagaimana keluarga dikembalikan kepada porsi yang sesungguhnya. Yang terakhir sebagai tantangan, saya ingin kita lihat apa yang dikatakan didalam ayat 11-13, yaitu kata dua kali diulang: “telanjangilah.” Istilah ini dalam bahasa indonesia bagi saya masih terlalu netral dan bahkan dapat berkonotasi macam-macam, tetapi ide kata ini ialah ‘egleso’ (membuka borok/luka lalu cuci hingga bersih). Yaitu satu kondisi dimana borok atau luka dalam yang tertutup sehingga dari luar tidak terlihat dan sepertinya bagus tetapi didalamnya borok itu semakin hari semakin membesar. Dan itu bagaikan sebuah rumah kayu yang tampak secara luar sangat bagus karena ditutup dengan wallpaper (kertas dinding) tetapi di dalamnya kayunya sudah habis dimakan rayap. Ketika terang tidak aktif maka kegelapan justru semakin aktif. Sehingga istilah disini mempunyai pengertian membuka suatu kenajisan atau luka yang perlu dibersihkan. Dengan demikian semua itu menuntut kita untuk mengkoreksi hidup dan membereskan diri kita secara tepat. Istilah egleso ini menjadikan kita sekali lagi bertanya, “Tuhan, seberapa jauh aku rela membongkar, menelanjangi kegelapan tersebut?” Kita seringkali tidak rela melihat luka itu sehingga akibatnya kegelapan makin lama makin gelap dan mengerogoti. Dan kalau itu terjadi didalam hidup kita maka hidup kita akan rusak. Relakah kita menjadi terang dengan rela membongkar semua borok-borok yang membuat kita terikat didalam kegelapan? Kedua, relakah kita membongkar borok yang ada didalam kegelapan masyarakat kita sehingga mereka dapat disadarkan bahwa mereka didalam kegelapan, sekalipun itu beresiko terlalu besar dan terkadang sakit tetapi itu harus dilakukan demi menyembuhkannya. Mari kita belajar dipakai Tuhan untuk menjadi terang dengan cara menelanjangi kegelapan, membuka kebusukan sehingga itu dapat dikembalikan kepada penyembuhan yang baik. Maukah saudara melakukan hal itu? Kembali kepada setiap kita, tekad dan keseriusan kita menjadi anak-anak terang. Amin

No comments:

Post a Comment

Subscribe Now: Feed Icon