Thursday, November 10, 2011
Dinamika Misi Melalui Ibadah
“Kiranya bangsa-bangsa bersyukur kepada-Mu, ya Allah; kiranya bangsa-bangsa semuanya bersyukur kepada-Mu. Kiranya suku-suku bangsa bersukacita dan bersorak-sorai” Mazmur 67:4-5
Ibadah sebagai Tujuan Misi
Ibadah adalah sasaran dan bahan bakar misi. Ibadah merupakan sasaran misi karena tujuan kita dalam misi ialah membawa bangsa-bangsa menikmati damai sejahtera dan sukacita di dalam kebesaran serta kemuliaan Allah. Tujuan misi ialah membuat umat Allah bersorak-sorak karena kebesaran Allah. “TUHAN adalah Raja! Biarlah bumi bersorak-sorak, biarlah banyak pulau bersukacita” (Mazmur 97:1).
Kita tidak akan dapat memuji-muji apa yang tidak kita sukai. Para misionaris tidak akan pernah meneriakkan, “Kiranya bangsa-bangsa bersukacita!” jika mereka tidak dapat mengatakan dari dalam hati mereka sendiri, “Aku mau bersukacita dan bersukaria karena Engkau, bermazmur bagi nama-Mu, ya Mahatinggi… (Mazmur 9:3). Misi dimulai dan diakhiri dengan ibadah. Kalau api ibadah menyala-nyala karena kita mengenal nilai Allah yang sesungguhnya, maka cahaya misi akan bersinar bagi orang-orang di daerah yang paling terpencil di bumi ini. Kalau gairah terhadap Allah lemah, semangat mengemban misi pun menjadi lemah. Gereja-gereja yang tidak memfokuskan diri untuk meninggikan keagungan dan keindahan Allah jarang sekali memiliki kerinduan yang kuat untuk menceritakan “kemulian-Nya di antara bangsa-bangsa” (Mazmur 96:3a). Bahkan orang luar pun akan dapat melihat perbedaan antara besarnya mulut kita yang berseru-seru ingin “memenangkan” bangsa-bangsa dan kelemahan hubungan kita dengan Allah.
Perkara yang paling penting dalam misi ialah sentralitas Allah dalam kehidupan gereja. Kalau orang-orang tidak terpesona oleh kebesaran Allah, bagaimana mereka dapat diutus untuk memberitakan kabar: “Sebab TUHAN mahabesar dan terpuji sangat, Ia lebih dahsyat daripada segala allah!” (Mazmur 96:4).
Misi bukan hal yang awal dan yang akhir, Allahlah Yang Awal dan Yang Akhir. Kebenaran ini adalah sumber hidup bagi inspirasi dan daya tahan kita sebagai duta Allah di bumi ini. Menikmati pengalaman bersama dengan Allah yang mahabesar – Allah pemenang dalam ibadah – mendahului pemberitaan mengenai hal itu dalam misi. Semua sejarah peradaban manusia sedang bergerak menuju satu sasaran besar, yaitu ibadah yang bergairah kepada Allah dan Anak-Nya di antara semua bangsa di bumi ini. Misi bukanlah sasaran akhir. Misi hanyalah alat untuk mencapai sasaran akhir itu. Oleh sebab itulah, misi merupakan aktivitas terbesar yang dimiliki gereja di dunia ini.
Alasan terdalam mengapa gairah kita terhadap Allah harus menggerakkan misi ialah karena gairah Allah terhadap diri-Nya sendiri menggerakkan misi. Misi adalah hasil dari luapan kesukaan kita terhadap Allah karena misi adalah hasil luapan sukacita Allah atas keberadaan-Nya. Dan alasan tertinggi mengapa ibadah merupakan sasaran dalam misi ialah karena ibadah adalah sasaran Allah sendiri. Ibadah yang dimaksudkan di sini ialah kehidupan yang penuh pengabdian dan penyembahan total kepada Allah Tritunggal, bukan sekedar ibadah resmi yang berliturgi pada hari tertentu. Kita diyakinkan tentang sasaran ini oleh ayat-ayat Alkitab yang berbicara tentang keinginan Allah dipuji di antara segala bangsa. “Pujilah TUHAN, hai segala bangsa, megahkanlah Dia, hai segala suku bangsa!” (Mazmur 117:1). Jika hal itu adalah sasaran Allah, maka itu pun harus menjadi sasaran kita.
Manusia dalam Dilema
Pada hakekatnya manusia tidak memiliki hati untuk memuliakan Allah. “Karena semua orang telah berbuat dosa dan telah kehilangan kemuliaan Allah” (Roma 3:23). Inilah perspektif Alkitab terhadap manusia. Dalam kejahatan, manusia mengabaikan kebenaran bahwa Allah adalah Penguasa Tunggal dan Tertinggi yang sangat layak menerima kasih dan kesetiaan dari manusia.
Manusia meninggalkan sumber air kehidupan untuk menggali kolam bagi dirinya sendiri, yakni kolam yang bocor, yang tidak dapat menahan air (Yeremia 2:13). Bangsa-bangsa “pengertiannya … gelap, jauh dari hidup persekutuan dengan Allah, karena kebodohan yang ada di dalam mereka dan karena kedegilan hati mereka” (Efesus 4:18).
Pada dasarnya semua manusia telah mati karena pelanggaran dan dosa-dosanya, karena mengikuti Iblis dan oleh sebab itu manusia pantas dimurkai (Efesus 2:1-3). Akhir hidup manusia ialah siksaan kekal (Matius 25:46), dan “dijauhkan dari kemuliaan Allah” (2 Tesalonika 1:9), dan penyiksaan kekal dalam “kematian kedua di dalam lautan api” (Wahyu 14:11; 20:10; 21:8). Asumsi Alkitabiah mengenai keadilan neraka merupakan kesaksian yang jelas mengenai betapa berbahayanya dosa yang diakibatkan oleh kegagalan manusia memuliakan Allah. Semua bangsa telah gagal. Oleh sebab itu, perasaan bersalah seharusnya dirasakan oleh setiap orang karena setiap orang telah gagal memuliakan Allah. Dan demikianlah visi Alkitabiah mengenai manusia yang tanpa kasih karunia menutup kebenaran itu dan lebih senang memuliakan namanya sendiri daripada memuliakan Allah. Allah ada untuk disembah, tetapi manusia menyembah buatan tangannya sendiri. Kedua kenyataan ini menciptakan kebutuhan yang mendesak akan misi.
Relasi antara Misi dan Supremasi Allah
Ada cara lain untuk melihat bahwa gairah Allah akan kemuliaan diri-Nya sendiri adalah kasih. Di sini hubungan antara supremasi Allah dan alasan adanya misi menjadi jelas. Hubungan antara misi dan supremasi Allah ditemukan dalam kalimat ini: “Kemuliaan yang ingin diagungkan oleh Allah ialah kemuliaan rahmat-Nya.” Ayat kuncinya terdapat dalam Roma 15:8-9: “Yang aku maksudkan ialah, bahwa oleh karena kebenaran Allah, Kristus telah menjadi pelayan orang-orang bersunat untuk mengokohkan janji yang telah diberikan-Nya kepada nenek moyang kita, dan untuk memungkinkan bangsa-bangsa, supaya mereka memuliakan Allah karena rahmat-Nya.” Perhatikan tiga kebenaran yang saling berkaitan yang menyuarakan misi:
Gairah untuk memuliakan Allah memotivasi misi ke seluruh dunia. Paulus mengemukakan tiga alasan mengapa Kristus merendahkan diri sebagai hamba dan datang ke dunia ini untuk mengadakan perjalanan misi terbesar yang pertama dari sorga ke bumi. Alasan pertama, “Kristus menjadi seorang hamba … untuk menunjukkan kebenaran Allah; kedua, Ia datang, “untuk mengokohkan janji-janji Allah; ketiga, Ia datang “agar bangsa-bangsa dapat memuliakan Allah karena rahmat-Nya.” Dengan kata lain, Kristus menjalani sebuah misi untuk memuliakan Allah. Ia datang untuk menunjukkan bahwa Allah benar. Ia datang untuk menunjukkan bahwa Allah adalah Pemegang janji. Ia datang untuk menunjukkan bahwa Allah itu mulia. Yesus datang ke dalam dunia bagi kepentingan Allah – untuk menyatakan integritas Allah, untuk membuktikan kebenaran firman Allah, untuk meninggikan kemuliaan Allah. Karena Allah mengutus Putra-Nya untuk melakukan semua hal tersebut, jelaslah bahwa tujuan utama dari misi terbesar pertama terhadap orang-orang yang belum terjangkau – misi Yesus dari sorga – adalah gairah Allah untuk memuliakan diri-Nya sendiri.
Sikap seorang hamba dan hati yang penuh belas kasihan memotivasi misi ke seluruh dunia. “Kristus menjadi seorang hamba … agar bangsa-bangsa memuliakan Allah karena rahmat-Nya.” Kristus menjadi seorang hamba … Kristus membawa rahmat. Ia adalah seorang hamba bukan saja pada saat Ia merendahkan diri untuk melakukan apa yang Allah inginkan, yang harganya adalah nyawa-Nya sendiri. Ia juga seorang hamba pada saat Ia hidup untuk menyalurkan rahmat Allah kepada bangsa-bangsa. Selama masa hidup-Nya, Ia menunjukkan adanya hubungan antara belas kasihan dan misi. Matius menulis: “Melihat orang banyak itu, tergeraklah hati Yesus oleh belas kasihan kepada mereka, karena mereka lelah dan terlantar seperti domba tidak bergembala. Maka kata-Nya kepada murid-murid-Nya: ‘Tuaian memang banyak, tetapi pekerja sedikit. Karena itu mintalah kepada tuan yang empunya tuaian, supaya Ia mengirimkan pekerja-pekerja untuk tuaian itu” (Matius 9:36-38). Belas kasihan Yesus terungkap dalam seruan-Nya agar kita berdoa, memohon Allah mengirim lebih banyak pekerja (misionaris/pengabar Injil). Dari awal sampai akhir hidup-Nya, rahmat Allah merupakan pendorong Dia mengemban misi. Itu pun tidak hanya dalam hidup-Nya, tetapi juga dalam kematian-Nya. “Karena Engkau telah disembelih dan dengan darah-Mu Engkau telah membeli mereka bagi Allah dari tiap-tiap suku dan bahasa dan kaum dan bangsa” (Wahyu 5:9). Rahmat dan belas kasihan adalah inti dari pelayanan Yesus. Sesungguhnya tidak ada seorang pun layak menerima pelayanan-Nya. Tetapi kita dilayani-Nya. Semuanya itu semata-mata karena rahmat dan kerelaan-Nya untuk menjadi hamba/pelayan.
Hati yang ingin memuliakan Allah dan hati yang penuh rahmat terhadap bangsa-bangsa menjadikan misi yang kita lakukan seperti misi yang dilakukan oleh Yesus. Kedua ciri tadi harus berjalan seiring. Jika kita tidak memiliki gairah untuk memuliakan Allah, maka belas kasihan kita menjadi dangkal, terpusat pada usaha sendiri, dan tidak mempunyai nilai yang kekal. Jika gairah kita untuk memuliakan Allah bukan merupakan hasil dari bersukacita dalam rahmat-Nya, maka apa yang kita sebut gairah menjadi tidak berkenan di mata Allah dan bersifat munafik (Matius 9:13).
Rangkuman
Kita dapat mengukuhkan kebenaran yang telah dikemukakan di atas, yaitu bahwa ibadah adalah penggerak dan sasaran yang mendorong kita mengemban misi karena ibadah juga merupakan penggerak dan sasaran yang mendorong Allah mengemban misi. Misi terjadi karena gairah Allah terhadap diri-Nya sendiri begitu penuh dan hal tersebut mengajak bangsa-bangsa mengambil bagian dalam gairah-Nya. (Baca Yohanes 15:11; 17:13; 25; Matius 25:21, 23). Pelaksanaan misi harus berada dalam gerakan dan sasaran Allah. Itu berarti juga berada dalam ibadah kepada Allah. Ibadah kepada Allah harus dilakukan dalam Roh dan kebenaran. “Allah itu Roh dan barangsiapa menyembah Dia, harus menyembah-Nya dalam roh dan kebenaran” (Yohanes 4:24). Penyembahan kepada Allah dalam roh dan kebenaran harus teraktualisasi dalam pelayanan misi. Umat Allah dimotivasi dan termotivasi untuk terlibat dalam misi.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment