Wednesday, November 9, 2011

Gereja Peka Zaman

“Itulah sebabnya dikatakan: “Bangunlah, hai kamu yang tidur dan bangkitlah dari antara orang mati dan Kristus akan bercahaya atas kamu.” Karena itu, perhatikanlah dengan saksama, bagaimana kamu hidup, janganlah seperti orang bebal, tetapi seperti orang arif, dan pergunakanlah waktu yang ada, karena hari-hari ini adalah jahat” Efesus 5:14-16 Kita hidup dalam satu dunia dengan penganut agama dan kepercayaan yang variatif. David J. Bosch, dalam buku Transformasi Misi Kristen, menulis demikian: “Kini kita hidup di dalam dunia yang secara keagamaan pluralistik, di mana orang Kristen, muslim, orang Buddha, dan para penganut banyak agama tradisional saling berjumpa setiap hari. Jarak yang dekat dengan orang lain ini telah memaksa orang Kristen untuk meninjau ulang pandangan-pandangan stereotip tradisional mereka tentang agama-agama tersebut. Lebih dari itu, para penganut kepercayaan-kepercayaan lain sering kali ternyata lebih aktif dan agresif dalam melaksanakan misinya daripada para anggota gereja-gereja Kristen.” Jadi, sangat terbuka peluang bagi Gereja untuk melaksanakan misinya. Di tengah gencarnya penganut kepercayaan yang lain menyebarkan misinya, Gereja harusnya tampil lebih dominan dalam melaksanakan misi shalom Allah ke dalam komunitas multi kepercayaan tersebut. Gereja harus memberi warna baru di mana Gereja mampu mengurat nadi di dalam masyarakat yang terbuka dan berubah secara dinamis. Di dalam dunia dan masyarakat yang berubah amat cepat, dibutuhkan kepekaan dan keterbukaan terhadap perubahan itu. Gereja tidak boleh hanya ikut arus di dalam perubahan dunia. A. Naftallindo, dalam buku Misi Di Abad Postmodernisme, menegaskan: “Sekali lagi bukan hanya ikut-ikutan, tetapi secara dinamis dan kreatif terus mencari bentuk-bentuk baru yang lebih relevan dan efektif. Ini tidak berarti kita harus mengada-ada. Kreativitas juga berarti kemampuan untuk mengusahakan sesuatu yang sederhana tapi mempunyai daya guna yang tinggi.” Artinya, Gereja harus peka terhadap zaman di mana ia ada saat ini. Kepekaan ini harus dibangun dalam suatu kesadaran akan kehendak Tuhan bagi dunia ini. Gereja tidak tertidur dalam gedung nyamannya. Gereja harus menyusun rencana strategis dan aksi nyata di dalam komunitas sosialnya. Gereja walaupun tidak semuanya, sibuk dengan dirinya sendiri. Polanya juga dimana-mana sama. Menghipnotis sebanyak mungkin orang datang ke dalam gedung. Meninabobokan jemaat dengan kasih dari sorga. Menonton banyak pertunjukkan yang dikemas dengan bahasa dari sorga (kata rohani – red). “Menginkubator” jemaat, sehingga tanpa disadari sebenarnya mereka sedang dipisahkan dari persoalan sosial kemasyarakatan. Terpenjara dalam ritual ibadah dan paradigma sempit bergereja. Itu sebabnya, jangan kaget bila gereja tidak peka dengan nasib kaumnya. Hanya peduli kalau ada gereja dibom. Dibakar massa. Ditutup paksa. Tidak dapat ijin mendirikan bangunan gereja. Di serbu sekelompok orang yang tidak dikenal. Gereja terasa kehadirannya oleh masyarakat luas, bila ada bencana alam. Namun, setelah itu kembali lagi ke habitatnya. Misinya tidak berkesinambungan. Kembali kerutinitas mengurus dirinya sendiri. Bergereja sekarang sudah menyimpang jauh dari hakekat kehadirannya. Tidak lagi menjadi “surat” Kristus yang hidup dan saksi yang benar. Semua orang di dalam gereja banyak terpenjara dalam nyamannya suasana ibadah. Eva Yunita, dalam buku Pemimpin Muda Peka Zaman, mengatakan: “Sibuk membenah diri dengan ritual agama. Namun, sebagian besar begitu terlena dengan limpahan kasih Tuhan yang menyentuh jiwa. Begitu nyaman sehingga melupakan tanggung jawab besar untuk memberkati masyarakat. Banyak pola bergereja yang menginkubator jemaat. Diimingi dengan “jamahan” Tuhan. Mengungkung mereka dalam janji kebutuhan yang pasti dijawab. Namun, setelah itu, tidak melatih mereka terjun langsung dan menjawab kebutuhan masyarakat.” Gereja ada untuk menjawab kebutuhan manusia. Manusia perlu pengampunan Tuhan. Manusia butuh pemulihan. Manusia harus damai dengan dirinya. Manusia harus menemukan identitas dirinya di hadapan Tuhan. Manusia perlu rekonsiliasi dengan Tuhan. Manusia butuh Penebus. Manusia perlu Juruselamat. Semua kebutuhan rohani itu tersedia di dalam Gereja. Gereja harus memberitakannya. Gereja harus keluar dari wilayah nyamannya. Gereja harus mendatangi manusia. Gereja harus mendekatkan diri kepada manusia berdosa. Gereja harus memberikan Yesus kepada mereka yang membutuhkannya. Karena hanya Yesus yang dapat memuaskan kebutuhan rohani mereka. Berkaitan dengan hal itu, Neil Cole dalam buku Organic Church, menulis: “Kehadiran pada hari Minggu tidak mengubah kehidupan; Yesus dalam mereka itulah yang mengubah orang-orang”. Gereja dengan segala bentuk ritualnya tidak dapat mengubah hidup manusia. Tapi Yesus yang adalah Kepala Gereja, yang tidak kelihatan dan ada di dalam diri Gereja (red – umat) itulah yang dapat mengubah hidup manusia. Gereja harus kreatif dan inovatif dalam memposisikan diri di zaman ini. Pola baru. Model baru. Paradigma baru. Yang memungkinkan gereja menghadirkan diri secara tepat dan baik dalam menjawab tuntutan internal maupun eksternal. Agar kehadirannya kembali menjadi signifikan, relevan, dan fungsional.

No comments:

Post a Comment

Subscribe Now: Feed Icon