Wednesday, November 9, 2011
Cerdas Bergereja
Rumah apabila didapati ada yang rusak, tentu perlu diperbaiki agar tidak bertambah parah kerusakannya. Tubuh kalau mengalami gangguan disfungsi, tentu perlu dilakukan pemeriksaan kesehatan. Jika ditemukan penyebabnya, tentu kita secara serius akan mengobatinya, sehingga tubuh kita dapat berfungsi secara sempurna. Demikian pula halnya jika tujuan luhur dari Gereja ternyata tidak sejalan dengan praktek kehidupannya, maka pastilah ada yang salah pada Gereja. Oleh karena itu ia harus segera diperbaiki, diobati sebab kalau tidak, maka Gereja akan menjadi monumen usang yang disfungsional. Apa yang patut dilakukan?
Menata ulang fungsi dan peran Gereja. Penting dilakukan. Ini kebutuhan mendesak dan menjadi solusi terbaik. Agar Gereja bisa mengurat nadi dalam masyarakat. Yang terutama harus disadari oleh Gereja untuk terwujudnya misi shalom Allah di dalam masyarakat, ialah mengimplementasikan kasih yang sejati. Ini harus menjadi “jembatan” yang menghubungkan Gereja dengan dunia. Melalui Gereja, dunia mengenal Allah, percaya dan menerima Yesus sebagai Tuhan dan Juruselamat pribadinya. Mengedepankan sikap menghargai nilai-nilai luhur yang terkandung dan dihidupi dalam masyarakat di mana Gereja ada di dalamnya. Di sinilah hukum kehidupan harus dijunjung tinggi dan dipraktekkan oleh Gereja. Perintah Yesus sangat jelas, yaitu: “…Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu…Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri” – Matius 22:37, 39. Ini merupakan salah satu landasan kuat bagi Gereja dalam upaya melaksanakan amanat misi Allah kepada dunia.
Sejatinya, Gereja adalah milik Allah. Sebagai milik Allah, Gereja adalah mandataris Allah di dunia. Sebagai mandataris Allah, Gereja hidup untuk kepentingan Allah dan Kerajaan-Nya. Gereja harus menunjukkan sifat-sifat dan nilai-nilai Kerajaan Allah kepada dunia. Gereja sebagai representasi Allah di dunia harus memberi dampak positif.
Gereja yang melakukan misi Allah dengan benar, pasti berkembang, baik kuantitas maupun kualitas. Ini sudah terjadi dalam Gereja awal. Lukas menulis demikian: “Orang-orang yang menerima perkataannya itu memberi diri dibaptis dan pada hari itu jumlah mereka bertambah kira-kira tiga ribu jiwa. Mereka bertekun dalam pengajaran rasul-rasul dan dalam persekutuan. Dan mereka selalu berkumpul untuk memecahkan roti dan berdoa. Maka ketakutanlah mereka semua, sedang rasul-rasul itu mengadakan banyak mujizat dan tanda. Dan semua orang yang telah menjadi percaya tetap bersatu, dan segala kepunyaan mereka adalah kepunyaan bersama, dan selalu ada dari mereka yang menjual harta miliknya, lalu membagi-bagikannya kepada semua orang sesuai dengan keperluan masing-masing. Dengan bertekun dan dengan sehati mereka berkumpul tiap-tiap hari dalam Bait Allah. Mereka memecahkan roti di rumah masing-masing secara bergilir dan makan bersama-sama dengan gembira dan dengan tulus hati, sambil memuji Allah. Dan mereka disukai semua orang. Dan tiap-tiap hari Tuhan menambah jumlah mereka dengan orang yang diselamatkan” – Kisah Para Rasul 2:41-47.
Kesaksian Gereja harus punya bobot dan berkualitas. Kelahiran baru di dalam Kristus landasan hidup untuk berubah menjadi lebih baik. Gereja terus memperdalam pengetahuannya tentang Allah. Ini adalah aspek teologis yang tidak bisa diabaikan oleh Gereja.
Nicolas J. Woly berkaitan dengan pengetahuan tentang Allah, dalam buku Perjumpaan Di Serambi Iman, menulis:“Pengetahuan ini sangat istimewa, yang melebihi konsep lain tentang Allah atau Sang Ilahi. Dia adalah Allah yang dalam rangka mendamaikan dunia dan manusia dengan diri-Nya memanifestasikan kesucian-Nya serta kasih-Nya, mengambil suatu jalan baru untuk membangun kembali kekuasaan-Nya yang sah atas manusia berlandaskan suatu hubungan kasih yang baru di mana tidak ada ketakutan di dalamnya.”
Selain pengetahuan tentang Allah, Gereja juga harus memiliki wawasan yang luas tentang sesamanya. Pengetahuan tentang antropologis menjadi penting dalam upaya mendaratkan Injil dalam konteks. Lebih lanjut Nicolas J. Woly dalam kaitannya dengan wawasan antropologis, dalam buku yang sama menegaskan:“Pengetahuan ini juga sangat istimewa dan revolusioner dibandingkan dengan konsep tentang manusia lainnya. Manusia sebagai ciptaan Allah dimaksudkan oleh Allah untuk menjadi anak-Nya sekaligus mitra-Nya. Oleh karena itu, manusia memiliki nilai dan sifat-sifat yang luar biasa. Akan tetapi kodrat dan keadaannya telah menjadi rusak karena sifat egoisme yang merupakan akar dari dosa dan kematian…Itu semua hanya bisa diselamatkan dan dibarui secara fundamental melalu pengakuan yang tulus akan penghakiman Allah, di mana di dalamnya terkandung pula kasih dan kesetiaan Allah.”
Dengan demikian, jika Gereja ingin melakukan misi Tuhan secara utuh, Gereja harus melihat Tuhan dan menghadirkan nilia-nilai Kerajaan-Nya di zaman ini. Sebagai contoh, supaya dunia bisa melihat Tuhan yang penuh kasih sayang, maka Gereja harus menghidupi dan mempraktekkan kasih dalam totalitas kehadirannya.
Gereja tidak akan bisa disukai oleh masyarakat, kalau hidup Gereja sendiri tidak berbeda dengan hidup komunitas lainnya. Tidak sedikit perilaku negatif terjadi dalam Gereja. Ini merusak kesaksian Gereja. Image Gereja menjadi jelek di mata masyarakat.
A. Naftallindo, dalam buku Misi Di Abad Postmodernisme, menulis demikian: “Di dalam tubuh kekristenan sendiri tidak mencitrakan Kristus, atau tidak lebih baik dari komunitas lain. Seperti misalnya, diangkatnya berita tentang keluarga pendeta yang demikian sadis (memukuli wajah) seorang gadis yang notabene adalah seorang pelayan Tuhan di gereja keluarga pendeta itu sendiri. Karena si pelayan itu tidak mau menandatangani surat palsu yang menyangkut dirinya. Belum “rebut posisi” di gereja sampai harus masuk ke pengadialn yang mengadili persoalan yang berurusan dengan pelayanan gerejawi.” Dan tentu saja masih banyak yang perlu kita angkat kepermukaan perihal persoalan internal dalam tubuh kekristenan itu sendiri. Yang pada dasarnya bercitra negatif.”
Gereja harus cerdas menghidupi dan mempraktekkan imannya. Gereja harus kreatif dan inovatif dalam melaksanakan misi Tuhan. Lebih lanjut, A. Naftallindo, dalam buku yang sama menegaskan:“Tidak cukup membuat statement-statement, atau slogan-slogan yang hanya sebatas kata-kata diruang kuliah, diruang konferensi, dirapat-rapat dengan membuat selebaran-selebaran yang kesannya hendak mengkristenkan orang lain.” Pola macam itu sudah kurang relevan. Perlu ada sesuatu yang baru. Produk baru yang sesuai dengan kebutuhna zaman ini. Tentu mutu atau kualitas hidup Gereja. Ini menjadi produk yang ditawarkan. Zaman ini sedang mengalami krisis. Krisis multi dimensi. Krisis spiritual. Krisis kepercayaan kepada Tuhan. Krisis etika dan moralitas. Krisis kepemimpinan. Krisis identitas. Gereja punya jawaban atas kebutuhan zaman ini. Sebab Gereja memiliki konsep nilai yang teguh di dalam Yesus Kristus.
A. Naftallindo, dalam buku Misi Di Abad Postmodernisme menulis: “Sebab kekristenan bukan semata-mata hidup yang berorientasi kepada perkara-perkara dunia; mengejar kenikmatan daging, tetapi hidup yang sudah memiliki konsep nilai yang berbeda dengan dunia.” Nilai hidup sejati hanya ada di dalam Yesus Kristus. Gereja yang telah mengalami perjumpaan personal dengan Yesus Kristus, mewarisi cara dan teladan hidup Yesus Kristus. Kehadiran Yesus Kristus yang tidak nampak karena ada di dalam diri Gereja, bisa dilihat oleh dunia melalui cara hidup Gereja yang cocok dengan cara dan teladan hidup Yesus Kristus. Berkaitan dengan hal itu, Neil Cole dalam buku Organic Church menulis: “Kehadiran Yesus merupakan unsur yang sangat vital bagi Gereja. Kehadiran-Nya membawa kehidupan; ketidakhadiran-Nya mendatangkan kematian. Dia merupakan bagian terpenting tentang apa dan siapa kita. Dia harus menjadi hal terpenting bagi kita dan aspek yang paling dikenali yang dilihat dunia.”
Dunia akan menjadi dunia yang damai, jika Gereja melakukan misi Allah seutuhnya. Dunia akan dimenangkan bagi Kerajaan Allah, bila Gereja konsisten menegakkan nilai-nilai hidup Kerajaan Allah di tengah-tengah dunia ini. Dunia dapat didamaikan dengan Allah, kalau Gereja serius menjadi saksi sejati dari Yesus Kristus di zaman ini. Dunia mampu menemukan jalan yang benar, bila Gereja hidup dalam kebenaran dan menjadi pelaku kebenaran firman Tuhan. Ketika Yesus Kristus menjadi dasar pijakan dan inti pemberitaan Gereja, maka dunia akan mengenal Yesus. Gereja akan bergerak sejalan dengan kepedulian Allah kepada dunia. Allah yang diberitakan Alkitab adalah Allah yang tidak pernah lelah untuk mendamaikan diri-Nya dengan manusia ciptaan-Nya. Gereja adalah mitra dan instrumen yang ditempatkan oleh Allah untuk bergandengan tangan menyelesaikan krisis lingkungan hidup, mengentaskan kemiskinan, memerangi kebodohan, dan pelbagai penyakit-penyakit sosial lainnya serta membawa manusia kembali kepada Pemelihara dan Penciptanya.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment