“Ia yang memberi kesaksian tentang semuanya ini, berfirman:
“Ya, Aku datang segera!” Amin, datanglah, Tuhan Yesus!
Wahyu 22:20
Bumi semakin tua. Keadaan zaman terus berubah. Kita sedang menuju ke akhir dari sejarah dunia. Waktunya pun sungguh tidak lama lagi. Allah secara pasti, sudah, sedang dan akan menggenapi seluruh janji-Nya yang ada dalam Alkitab berkaitan dengan kehidupan kita di dunia. Tuhan Yesus akan segera datang kembali ke dunia untuk yang kedua kali.
Tanda-tanda dari kedatangan Tuhan Yesus yang kedua ke dalam dunia ini semakin nyata. Mulai dari kondisi, situasi dan keadaan bumi yang sangat tidak dapat dipastikan. Sulit diprediksi. Suasana sosial, ekonomi, budaya, politik, dan keamanan dunia semakin tidak menentu. Peperangan, kekerasan, terorisme, bencana alam, sakit penyakit, kelaparan dan kemiskinan terus menerus terjadi. Bahkan frekuensi, intensitas dan jumlah korban jiwa yang berjatuhan pun cenderung makin meningkat dari waktu ke waktu.
Lantas apakah implikasi dan makna sesungguhnya di balik semua peristiwa yang amat sangat memiriskan hati itu? Implikasi dan makna sesungguhnya di balik semua peristiwa tersebut ialah dunia saat ini sedang membutuhkan pengharapan. Pengharapan untuk keluar dari kekacauan dunia. Pengharapan untuk keluar dari situasi sosial, ekonomi, budaya, politik dan keamanan yang tidak menentu. Pengharapan untuk keluar dari penderitaan hidup. Pengharapan untuk hidup lebih baik dan bermartabat. Lalu melabuhkan sauh hidup mereka dalam suatu dunia yang penuh damai.
Pertanyaannya ialah siapakah yang dapat menjawab dan memenuhi harapan besar itu? Jawabannya ialah Gereja. Gereja harus bertanggung jawab. Mengapa harus Gereja? Karena Gereja merupakan alat dan mitra kerja Allah. Gereja hadir untuk melakukan kehendak Allah bagi dunia ini. Sejatinya, Gereja ada, tumbuh dan berkembang merupakan kehendak Allah. Gereja punya misi yang sama dengan Yesus ketika diutus ke dunia ini, yaitu membawa shalom kepada dunia.
Yesus telah meninggalkan teladan sempurna bagi Gereja. Yesus hadir dan melayani. Dia memberi jawaban yang dibutuhkan dunia. Reaksi Yesus sangat positif. Yesus melakukan suatu pendekatan kemanusiaan yang berbeda. Akibatnya, Yesus mengulurkan tangan-Nya. Tangan yang penuh kasih. Pribadi yang berkuasa sepanjang sejarah. Dia melayani dan menjamah serta memberi jawab seutuhnya atas dilema manusia. Yesus mempedulikan orang-orang yang dikategorikan “sampah.” Orang-orang yang terbuang. Para marjinal.
Memang banyak kasus yang dicatat dalam Alkitab berkaitan dengan cara Yesus menangani persoalan orang-orang yang terabaikan, terhina dan dikucilkan. Namun, dibatasi pada dua kasus saja. Yang pertama kasus orang kusta – Markus 1:40-45 dan kedua kasus perempuan Samaria – Yohanes 4:1-54.
Pada zaman Alkitab, apabila seseorang telah dinyatakan kusta, maka ia harus disingkirkan. Tentu konteksnya berbeda dengan zaman sekarang. Pada masa itu, yang menyatakan seseorang menderita kusta bukanlah dokter. Yang paling berkompeten menentukan adalah imam. Dalam kitab Imamat 13 tertulis jelas aturan yang diberlakukan kepada orang kusta.
Orang kusta harus siap-siap menelan pil pahit. Bila imam Harun telah menjatuhkan vonis, maka ia harus menerima konsekuensi yang ada. Konsekuensi pertama adalah menerima fakta bahwa ia menderita kusta. Penyakit yang ditakuti banyak orang pada zaman itu. Namun, konsekuensi lainnya ialah vonis masyarakat. Tidak ada dukungan mengalir untuk meneduhkan hati. Yang ada adalah vonis yang memojokkan. Vonis yang menghakimi. Bahkan diatur pula, ketika seseorang menderita kusta, ia harus mengatakan, “Najis! Najis!”. Intinya betapa celakanya menjadi orang kusta.
Demikianlah hukum yang mengatur, mengisolasi dan mengikat serta memenjarakan orang yang sakit kusta. Namun, Yesus menciptakan terobosan. Yesus tidak ingin terikat dan dibatasi oleh peraturan yang ada. Yesus menerobosnya dengan hukum kasih. Dinamika kasih-Nya menembus batasan aturan yang ditetapkan. Semua tradisi atau adat istiadat diterjang demi kasih yang tulus, kasih yang besar. Yohanes menulis: “Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal” – Yohanes 3:16.
Tatkala semua orang menghindari orang yang sakit kusta, Yesus hadir melayani, menunjukkan kepedulian, belas kasihan dan memberikan apa yang dibutuhkan oleh si kusta. Dikatakan: “Seorang yang sakit kusta datang kepada Yesus, dan sambil berlutut di hadapan-Nya ia memohon bantuan-Nya, katanya: “Kalau Engkau mau, Engkau dapat mentahirkan aku.” Maka tergeraklah hati-Nya oleh belas kasihan, lalu Ia mengulurkan tangan-Nya, menjamah orang itu dan berkata kepadanya: “Aku mau, jadilah engkau tahir” – Markus 1:40-41. Gereja ada karena misi Yesus. Gereja adalah milik Kristus dan Kristus adalah kepala gereja. Gereja harus taat dan mengikuti cara Yesus melayani. Gereja harus memiliki kepekaan hati yang tajam seperti kepekaan hati Yesus. Gereja harus menaruh belas kasihan yang digerakkan oleh kasih Yesus kepada dunia yang dalam kegelapan. Gereja punya kuasa dari Yesus untuk melayani dunia yang membutuhkan pengharapan.
Injil Yohanes 4:1-54 menceritakan tentang dialog Yesus dengan perempuan Samaria. Pada zaman itu, etnis Yahudi tidak dapat bergaul dengan etnis Samaria. Kedua etnis sulit hidup bersama dan rukun. Etnis Samaria dianggap lebih rendah oleh etnis Yahudi. Itu sebabnya Alkitab memberi penjelasan demikian: “Maka kata perempuan Samaria itu kepada-Nya: “Masakan Engkau, seorang Yahudi, minta minum kepadaku, seorang Samaria?” (Sebab orang Yahudi tidak bergaul dengan orang Samaria) – Yohanes 4:9.
Rupanya, kedua etnis tersebut sulit untuk dipersatukan. Komunikasi di antara keduanya juga mengalami kebuntuan. Ikatan persaudaraan sebagai sesama manusia buntu sama sekali. Itulah sebabnya pada saat Yesus membuka kran komunikasi, perempuan Samaria menjadi terkejut. Bagaimana mungkin seorang Yahudi meminta minum kepada seorang Samaria? Itu mustahil terjadi.
Memang bagi manusia tidak mungkin, tapi bagi Yesus segala sesuatu menjadi mungkin. Rasul Yohanes menulis, yang membuka percakapan pertama kali bukanlah perempuan Samaria, melainkan Yesus yang mengawalinya.
Apabila kita melakukan investigasi lebih mendalam, ternyata perempuan Samaria tersebut bukanlah perempuan baik-baik. Perempuan ini seorang pendosa. Ketika berdialog dengan sang Juruselamat, Yesus menyingkapkan identitas perempuan tersebut. Rupanya ia seorang yang telah memiliki lima orang suami. Suami yang sekarang hidup bersamanya, bukanlah suaminya. Yesus secara pasti mengetahui kondisi perempuan ini. Kendati demikian, Yesus tetap konsisten mengasihi perempuan Samaria. Tentunya, yang dimaksud ialah mengasihi jiwanya, bukan dosanya.
Yesus membuka ruang dan kesempatan bagi perempuan Samaria. Yesus meminta supaya ia memanggil suaminya. Mulanya, perempuan Samaria itu masih menyembunyikan identitasnya. Ia menganggap Yesus tidak mengetahui apa yang sedang terjadi. Namun, lagi-lagi Yesus membuka fakta. Dari fakta itu, akhirnya keluar pengakuan yang jujur: “Kata perempuan itu kepada-Nya: “Tuhan, nyata sekarang padaku, bahwa Engkau seorang nabi” – Yohanes 4:19. Yesus selalu terbuka dan melayani mereka yang diabaikan, dihina dan dikucilkan. Perempuan Samaria diremehkan oleh lingkungannya. Tentu, memang ada alasannya. Mungkin saja karena perempuan ini seorang yang secara moral tidak beres. Perempuan ini mungkin juga seorang yang suka mengganggu keutuhan keluarga orang lain. Maka, ia dikucilkan. Penghakiman masyarakat telah dijatuhkan kepadanya. Ia seorang pendosa. Yang menarik ialah Yesus tidak berlaku seperti orang kebanyakan. Kesempatan kedua Yesus berikan. Orang menilai perempuan itu terlalu bejat. Namun, Yesus tidak menganggapnya seperti itu. Yesus masih membuka pintu agar “sampah masyarakat” itu bertobat. Sepanjang ada pertobatan, maka yang hina pun jadi mulia. Sepanjang ada pertobatan, yang terabaikan pun bisa jadi pusat perhatian-Nya. Bagi Yesus, setiap pribadi bernilai. Karena itulah, Dia mati di atas kayu salib bagi manusia berdosa.
Dinamika perjumpaan pribadi dengan Yesus yang dialami oleh perempuan Samaria, telah mengubah totalitas kehidupannya. Transformasi rohani terjadi. Relasi dengan diri dipulihkan. Relasi sosial diperdamaikan. Perempuan Samaria membawa jiwa kepada Yesus sebagai buah dari pertobatannya. Alkitab menulisnya demikian: “Dan banyak orang Samaria dari kota itu telah menjadi percaya kepada-Nya karena perkataan perempuan itu, yang bersaksi: “Ia mengatakan kepadaku segala sesuatu yang telah kuperbuat.” Ketika orang-orang Samaria itu sampai kepada Yesus, mereka meminta kepada-Nya, supaya Ia tinggal pada mereka; dan Ia pun tinggal di situ dua hari lamanya. Dan lebih banyak lagi orang yang menjadi percaya karena perkataan-Nya, dan mereka berkata kepada perempuan itu: “Kami percaya, tetapi bukan lagi karena apa yang kaukatakan, sebab kami sendiri telah mendengar Dia dan kami tahu, bahwa Dialah benar-benar Juruselamat dunia” – Yoahens 4:39-42.
Gereja harus terbuka dan adaptif. Tidak ekslusif. Gereja harus dinamis menerobos semua kalangan. Baik yang belum melek pengetahuan teknologi, termakan usia, atau bahkan yang terlalu progresif menggunakan nalar. Kepada mereka Gereja perlu memprioritaskan pelayanannya. “Sampah masyarakat” merupakan kelompok kurang beruntung, miskin, tersisih, dianggap tidak berguna dan lain sebagainya. Gereja harus mengarahkan visi dan misinya sama dengan visi dan misi Tuhan. Hal itu ditegaskan oleh Tuhan demikian: “Roh Tuhan ada pada-Ku, oleh sebab Ia telah mengurapi Aku, untuk menyampaikan kabar baik kepada orang-orang miskin; dan Ia telah mengutus Aku untuk memberitakan pembebasan kepada orang-orang tawanan, dan penglihatan bagi orang-orang buta, untuk membebaskan orang-orang yang tertindas, untuk memberitakan tahun rahmat Tuhan telah datang” – Lukas 4:18-19.
Memang hal itu tidak mudah diterapkan. Gereja acap kali berhadapan dengan segudang kendala. Mulai dari paradigma, biaya, hingga ketakutan untuk keluar dari zona nyaman. Tapi Gereja harus berani investasi demi penyelamatan jiwa-jiwa. Ketika karya keselamatan itu dialami, maka segalanya akan berubah. Perintah Yesus jelas dan tegas kepada Gereja-Nya. Ia katakan: “Karena itu pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan baptislah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus, dan ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang telah Kuperintahkan kepadamu. Dan ketahuilah, Aku menyertai kamu senantiasa sampai kepada akhir zaman” – Matius 28:19-20. Tuhan memanggil gereja untuk menjadi murid dan mitra kerja-Nya. Bukan untuk hidup aman dan nyaman. Gereja harus keluar melakukan Amanat Agung kapanpun dan dimanapun serta dalam kondisi apapun Gereja berada.
No comments:
Post a Comment