Wednesday, November 9, 2011
Fenomena Ritula Rohani
“Mengapa kamu berseru kepada-Ku: Tuhan, Tuhan,
padahal kamu tidak melakukan apa yang Kukatakan?”
Lukas 6:46
Ritual ibadah Gereja selama abad ke – 20, terjadi beberapa tahap perubahan. Perubahan ini ditandai dengan lahirnya berbagai bentuk simbol, didaktik verbalisme dan tahap masyarakat audiovisual. Ini menjadi trend dan ciri khas ibadah Gereja kala itu.
Peribadahan Gereja sebenarnya bersumber dari tradisi oral dan ritual umat Israel dalam Perjanjian Lama. Pengajaran di Bait Allah dan di Sinagoge dipimpin ole para Imam yang disertai dengan ritual – Lukas 4:16-22. Sementara bentuk pengajaran di luar Bait Allah dan Sinagoge, penyelenggaranya ialah orang tua, para Hakim dan para Nabi. Ritual ini dilakukan dengan cara oral – Ulangan 6:4-9.
Semenjak Gereja lahir dan berkembang pada abad pertama hingga akhir Abad Pertengahan, corak ibadah Gereja sangat kuat pada tradisi oral, ritual dan visual. Pemeran sentral ibadah adalah umat. Pengajaran kepada umat disuguhkan dalam bentuk drama, homili, ritus-ritus, gambar, hari-hari raya, jenis-jenis ibadah dan berbagai benda pendukung. Namun pola ini, tidak dapat dipertahankan. Partisipasi umat dalam ibadah tidak lagi dominan. Terjadi pergeseran. Robert Boelhke menulis: “Pada masa kini umat mengenal kisah-kisah Alkitab dan pengajaran Gereja melalui peribadahan oral dan ritual tersebut. Pada akhir Abad Pertengahan partisipasi umat dalam peribadahan lambat laun menurun karena perdebatan teologis tentang kedudukan klerus dan umat dalam Gereja juga karena perselisihan intern Gereja.”
Reformasi yang digulirkan oleh Marthen Luther berdampak juga terhadap tata ibadah Gereja. Robert Webber menulis: ”Reformasi membawa dampak perubahan warna ibadah dari ritual menjadi didaktik. Pada akhir Abad Pertengahan tampilan liturgi yang berpusat pada imam, sakramen, dan cenderung teaterikal digeser menjadi liturgi yang berpusat pada pemberitaan Firman Tuhan dan mimbar. Didaktik dalam liturgi hampir seluruhnya verbalisme dan tata gerak serta pemakaian simbol-simbol tidak terlalu ditekankan. Segala sesuatu: simbol, edukasi, misteri doa, komitmen, disampaikan secara verbal dari mimbar. Bersama dengan lahirnya peribadahan Injili abad ke-19, altar call menjadi model ibadah yang dominan di sebagian besar di Gereja.”
Pada saat berakhirnya Perang Dunia II, pola ibadah Gereja mengalami perubahan yang signifikan. Tepatnya setelah tahun 1950-an. Pola ibadah pantekostal punya pengaruh kuat dan luas saat itu. Bukan saja di kalangan Gereja Protestan, tetapi juga bagi Gereja Roma Katolik. Gereja-gereja Pantekosta mengembangkan pola pelayanannya dengan menghidupkan kegiatan persekutuan umat di luar selebrasi liturgi.
Konsep pelayanan seperti ini didukung oleh Webber, lebih jauh dia berpendapat: “Worship is the center of hourglass, the key to forming the inner life of the church. Everything the church does move toward public worship, and all its ministries proceed from worship. Good worship creates community, evangelical warmth, hospitality to outsiders, inclusion of cultural diversity, leadership roles for men and woman, intergeneration involvement, personal an community formation, healing, reconciliation, and other aspects of pastoral care. Because worship is itself an act of witness, it is the door to church growth, to missions and evangelism, and to issues of social justice. Worship now stands at the center of the church`s life and mission in the world”.
Paradigma peribadahan dewasa ini adalah perayaan yang inklusif, bervariasi dan aktivitas Gereja yang utuh. Inklusif dalam pengertian tidak tertutup hanya pada alasan tradisi. Bervariasi dalam pengertian tidak hanya mengulang-ulang ritus yang ada selama beberapa abad. Aktivitas Gereja yang utuh artinya selebrasi liturgi ditopang oleh pelayanan-pelayanan sosial, pendidikan dan aksi-aksi sosial lainnya. Paul Basden mencatat bahwa tahun 1990-an di Amerika terklasifikasi lima jenis gaya ibadah, yaitu: Liturgis; Tradisional; Kebangunan (Revivalist); Pujian dan Penyembahan (Praise and Worship); “Pencari Jiwa” (Seeker). Kelima gaya ibadah ini mengklaim mendapat inspirasi dari topangan sumber Alkitab sekalipun Alkitab tidak memberikan satu pilihan cara ibadah yang paling benar, namun Alkitab memberikan informasi tentang kebiasaan beribadah umat. Identifikasi kelima gaya ibadah itu adalah:
Liturgis
Liturgis memiliki keteraturan dan persiapan yang sudah terwarisi secara turun temurun. Kelompok liturgis ini mengklaim sebagai pewaris tradisi asli dari zaman Perjanjian Baru dan sejarah gereja. Oleh karenanya seringkali bertahan (status quo) dengan alasan “patuh pada tradisi” menjadi pembenaran untuk menghadapi keberbagaian ibadah. Teratur, terencana dan persiapan yang matang merupakan gambaran umum dari gaya ibadah liturgis ini – 1Korintus 14:33, 39. Warna ibadah yang agung dan kontemplatif mendapat penekanan utama. Roma Katolik, Lutheran dan Anglikan berada pada gaya ini.
Tradisional
Tradisional memiliki ciri formal, namun tidak terlalu formal. Perilaku ini terjadi karena tidak adanya pegangan pelaksanaan ibadah sekalipun ada kesepakatan bersama. Gaya ibadah tradisional ini terkadang disebut non-liturgis dan kadang disebut semi-liturgis. Pada satu pihak gaya ibadah tradisional ini adalah cangkokan dari induk liturgis, pada pihak lain terbuka pada gaya kebangunan. Perubahan dimungkinkan terjadi apabila ada kesepakatan bersama. Kolose 3:16 dan Efesus 5:19-20 adalah salah satu aspirasi yang mendasari gaya ibadah tradisional ini. Reformed dan Menonit berada pada kelompok ini.
Kebangunan (Revivalist)
Kebangunan memiliki ciri informal, meluapkan kegembiraan, khotbah yang agresif dan bersemangat. Motivasi yang sering ditekankan adalah mencari yang terhilang dan membawa sebanyak mungkin kepada anugerah Allah – Kisah Para Rasul 2. Pada gilirannya umat diarahkan untuk bersaksi bagi orang-orang yang belum percaya. Membakar semangat berdampak langsung kepada emosi, sehingga umat mengklaim merasakan kehadiran Allah dalam ibadah. Quaker, Metodis dan Frontier (Babtis, Diciples of Christ, Churches of Christ) berada dalam kelompok ini.
Pujian dan Penyembahan (Praise and Worship)
Pujian dan Penyembahan ini memiliki ciri informal, suara tidak terlalu keras namun menggunakan pengeras suara. Umat mengungkapkan pengalamannya menemukan kehadiran Allah dengan meluapkan ekspresi melalui doa, nyanyian dan kata-kata. Kadang-kadang menggunakan bahasa lidah, penyembuhan dan umat sering menjawab: ”Oh Yesus”, ”Amin”, ”Haleluya”. Ibadah adalah keterlibatan seluruh tubuh, bertepuk tangan, menari, angkat tangan dan berseru nyaring. Mazmur 150 dan 1 Korintus 12-14 menjadi aspirasi tentang gaya ibadah ini. Pantekosta berada dalam kelompok ini.
”Pencari Jiwa” (Seeker)
”Pencari Jiwa” memiliki ciri ketergantungan kepada satu atau dua orang pemimpin yang dinilai memiliki kharisma. Tidak ada ciri yang seragam di antara gaya-gaya ibadah ini. Yang satu mengindahkan musik komtemporer, yang lain menarik jiwa melalui babtisan; yang satu mengarahkan gaya hidup kudus setiap individu, yang lain pada minyak urapan. Kisah Para Rasul 17:16-34 menjadi salah satu inspirasi gaya ibadah ini.
Berbagai gaya ibadah yang muncul di era tahun 1980-1990, namun gaya ibadah yang sangat mempengaruhi perkembangan peribadahan Protestan (main stream) hingga masa kini adalah gaya ibadah Karismatik, Pujian dan Penyembahan (Praise and Worship).
Pembaruan ibadah diawali oleh Martin Luther di Wittenberg Jerman yang memunculkan lahirnya liturgi Protestan atau liturgi Reformasi. Ajaran-ajaran Roma Katolik yang berbau lahiriah di dalam ibadah dipulihkan kepada pemberitaan Injil yang sesungguhnya. Artinya seluruh liturgi (tata ibadah) harus merupakan pemberitaan Injil dan segala apa yang terjadi di Gereja harus dinilai menurut ukuran Injil. Dalam pembaruan ibadah, Luther menunjukkan sikap kehati-hatian, pelbagai tradisi lama apabila tidak bertentangan dengan firman Allah tetap dilaksanakan.
Semangat pembaruan ibadah terus berkembang dan bergulir hampir keseluruh Eropa yang memunculkan sembilan bentuk-bentuk baru dari liturgi yang semuanya berasal dari induk tradisional liturgi barat (Roma), yaitu: liturgi Lutheran, Reformed (Calvinis), Anabaptis, Anglikan, Puritan, Quaker, Metodis, Frontier dan Pentakostal. Kesembilan bentuk ritual tersebut mewarnai liturgi Gereja-gereja Protestan hingga saat ini. Di dalam perkembangan liturgi selanjutnya Gereja-gereja Reformasi berpandangan bahwa tidak ada liturgi yang bersifat normatif, bersifat kekal, sempurna dan tidak dapat diperbaharui sepanjang masa. Upaya pembaruan liturgi tetap terbuka sebagaimana pemahaman tentang hakikat Gereja, yaitu: “Ecclesia reformata semper reformanda”, namun demikian pembaruan liturgi yang akan diupayakan tidak bersifat “liar” tetapi selalu di dasarkan kepada refleksi teologis dan praksis liturgi.
Di dalam upaya pembaruan liturgi ada beberapa prinsip yang dibangun sehingga bercorak reformatoris, yaitu: liturgi dilayankan dalam bahasa umat, firman Allah harus dikomunikasikan secara terbuka dan mendalam. Umat terlibat aktif dalam liturgi dengan menyanyikan nyanyian jemaat. Perjamuan kudus dirayakan sebagaimana perintah Kristus, maka umat berhak dan wajib menerima kedua elemen perjamuan kudus. Pelayan liturgi tidak mengenakan pakaian liturgis sebagai pakaian jabatan yang hanya membedakannya dari umat tetapi sebagai pakaian kesarjanaan.
Seiring dengan perkembangan bentuk-bentuk liturgi Protestan, muncul juga perkembangan dalam berbagai gaya atau pengekspresian liturgi. Sebagaimana Basden mencatat ada lima gaya ibadah yang muncul, yaitu: Liturgis yang memiliki keteraturan dan persiapan yang sudah terwarisi secara turun temurun, Tradisional yang memiliki ciri formal, namun tidak terlalu formal, Kebangunan memiliki ciri informal, meluapkan kegembiraan, khotbah yang agresif dan bersemangat, Pujian dan Penyembahan yang memiliki ciri informal, suara tidak terlalu keras namun menggunakan pengeras suara, ”Pencari Jiwa” yang memiliki ciri ketergantungan kepada satu atau dua orang pemimpin yang dinilai memiliki kharisma.
Melalui varian perkembangan ini dapat dicatat bahwa pembaruan ibadah Protestan terus mengalami perkembangan baik dalam bentuk maupun dalam hal ekspresi. Melihat perkembangan liturgi Protestan ini dapat dikatakan bahwa keanekaragaman merupakakan ciri ibadah Protestan sejak awal. Tidak ada liturgi yang bersifat normatif, bersifat kekal, sempurna dan tidak dapat diperbaharui sepanjang masa.
Hakekat, nilai, dan makna ibadah Gereja di era postmodern ini mulai tergerus. Umat Tuhan tidak lagi mengamalkan buah ibadah seperti yang Tuhan kehendaki. Ibadah Gereja cenderung kearah pemuasan kebutuhan personal semata. Akibatnya, Gereja lokal telah menjadi tidak begitu diinginkan, sehingga banyak orang, bahkan di antara orang yang percaya, telah menolaknya. Neil Cole mengutip pernyataan McNeal, menulis: “Jumlah orang-orang yang meninggalkan gereja makin meningkat karena alasan baru. Mereka tidak meninggalkan gereja karena kehilangan iman mereka. Mereka meninggalkan gereja untuk mempertahankan iman mereka”. Akan tetapi, kehadiran umat di gereja tidak bisa menjadi barometer untuk menggambarkan kondisi keKristenan. Kita tidak cukup hanya memenuhi bangku gereja. “Kita melakukan ketidakadilan bagi Yesus dengan mengurangi kehidupan dan pelayanan-Nya menjadi kisah yang menyedihkan seperti kehadiran di gereja dan daftar keanggotaan”.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment