Wednesday, November 9, 2011

Gaya Hidup Postmo dalam Gereja

Rasul Paulus dalam ilham Roh Kudus menggambarkan karakteristik manusia postmodernisme. Tentang hal itu, ia menulis dalam suratnya kepada Timotius, demikian: “Ketahuilah bahwa pada hari-hari terakhir akan datang masa yang sukar. Manusia akan mencintai dirinya sendiri dan menjadi hamba uang. Mereka akan membual dan menyombongkan diri, mereka akan menjadi pemfitnah, mereka akan berontak terhadap orang tua dan tidak tahu berterima kasih, tidak mempedulikan agama, tidak tahu mengasihi, tidak mau berdamai, suka menjelekkan orang, tidak dapat mengekang diri, garang, tidak suka yang baik, suka mengkhianat, tidak berpikir panjang, berlagak tahu, lebih menuruti hawa nafsu dari pada menuruti Allah. Secara lahiriah mereka menjalankan ibadah mereka, tetapi pada hakekatnya mereka memungkiri kekuatannya. Jauhilah mereka itu!” 2 Timotius 3:1-5 Gereja harus sadar bahwa ia hidup di akhir dari zaman ini. Karena ini adalah zaman akhir, maka masa ini adalah era yang sukar. Manusia menjadi egois. Manusia dijajah oleh uang. Manusia membual dan menyombongkan diri. Manusia menebarkan fitnah. Manusia menjadi provokator pemicu kekerasan. Tidak menaruh hormat kepada orang yang usianya lebih tua darinya. Manusia tidak tahu mengucap syukur. Manusia tidak menghidupi nilai-nilai kebenaran yang ada dalam agama. Manusia menjadi pembunuh sesama. Manusia hidup dalam dendam dan permusuhan. Manusia merendahkan martabat sesamanya. Manusia bertindak anarkis. Manusia menuruti hawa nafsu sendiri. Manusia tidak lagi taat dan takut kepada Allah. Manusia giat beribadah secara lahiriah, tetapi tanpa pengertian yang benar tentang ibadahnya. Gereja saat ini hidup di era postmodoernisme. Spiritnya ditandai dengan relativisme. Individualisme lebih dominan. Materialisme menjadi ukuran kebahagiaan. Gaya hidup yang hedonis. Mengedepankan pragmatisme. Gereja hidup di tengah-tengah masyarakat yang menekankan kebebasan hidup pribadi. Tidak ada standar kebenaran mutlak. Manusia bebas melakukan apa yang benar menurut pandangannya sendiri. Belum lagi pengaruh materialisme. Seseorang dinilai berdasarkan apa yang dimilikinya. Akibatnya banyak orang terdorong menjadi konsumtif. Spirit ini kian merebak seiring dengan laju era yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemandirian bagi seseorang sebagai individu. Gereja tanpa disadari mulai terkontaminasi. Gaya hidup hedonis merasuki gereja. Tanpa disadari gereja ada dalam arus materialisme dan dikuasai olehnya. Cenderung menjadi egois tanpa peduli dengan persoalan sosial di sekitarnya. Standard kebenaran Allah direlatifkan. Kompromi dengan dunia. Hidup di tengah spirit zaman yang demikian, terjadi kekosongan spiritualitas. Memudarnya pengharapan. Dekadensi moral meningkat. Sebagai orang Kristen yang sedang melintasi zaman ini, mau tidak mau kita harus berhadapan dengan pilihan antara dilindas oleh spirit zaman ini atau berdiri tegak di atas kebenaran keyakinan kita yang absolut, dan tetap relevan di segala zaman. Sebagai seorang pengikut Kristus, selayaknya kita hidup sebagai saksi-saksi Kristus (Efesus 5:1). Mereka telah dijamah oleh Kristus melalui Roh Kudus. Hidup diperbarui dan berkemenangan dari hidup yang lama menuju hidup yang dimerdekakan serta hidup selaras dengan hidup yang Tuhan Yesus telah jalani. Dengan kata lain, kita telah dipersatukan di dalam Kristus. Ada jaminan kemenangan atas dosa dan maut. Mengalami dampak kuasa kebangkitan Kristus di dalam kehidupan kita. Karena status inilah, maka kita sebagai umat Tuhan harus hidup berbeda dengan dunia ini. Di mana kita mampu menantang dunia ini dengan nilai-nilai hidup Kristiani. Rasul Paulus menulis: “Janganlah kamu menjadi serupa dengan dunia ini, tetapi berubahlah oleh pembaharuan budimu, sehingga kamu dapat membedakan manakah kehendak Allah: apa yang baik, yang berkenan kepada Allah dan yang sempurna” – Roma 12:2. Jawaban bagi dunia yang mengalami kekosongan spiritualitas, kehilangan pengharapan dan kehancuran moralitas adalah hidup yang berkemenangan di dalam Yesus Kristus. Dia telah bangkit dari antara orang mati, mengalahkan kuasa dosa dan maut. Rasul Paulus menulis: “…, maka akan genaplah firman Tuhan yang tertulis: “Maut telah ditelan dalam kemenangan. Hai maut di manakah kemenanganmu? Hai maut di manakah sengatmu?” Sengat maut ialah dosa dan kuasa dosa ialah hukum Taurat. Tetapi syukur kepada Allah, yang telah memberikan kepada kita kemenangan oleh Yesus Kristus, Tuhan kita” – 1 Korintus 15:54-57. Kitalah yang pertama kali harus mengalami kemenangan itu secara pribadi. Lalu diimpartasikan ke dalam komunitas kita. Kemudian, kita memberitakannya kepada orang lain yang menuju kepada kebinasaan. Rasul Paulus menulis: “Tetapi syukur bagi Allah, yang dalam Kristus selalu membawa kami di jalan kemenangan-Nya. Dengan perantaraan kami Ia menyebarkan keharuman pengenalan akan Dia di mana-mana” – 2 Korintus 2:14. Kekosongan spiritualitas, hilangnya pengharapan dan kehancuran moralitas memicu seseorang untuk menemukan apa yang berarti dalam hidup ini. Banyak orang berusaha untuk mencari makna hidup yang dapat mengisi kekosongan jiwanya, mereka ingin menemukan pengharapan dan mengalami transformasi. Eka Darmaputera mengatakan bahwa: “trend abad ke-21 ditandai dengan semakin mantapnya kesadaran mengenai pentingnya kualitas hidup. Sebagai orang Kristen yang telah mengalami kuasa kebangkitan Kristus yang memberi kemenangan, keberanian, pengharapan, sukacita dan damai maka kita adalah agen Kristus yang menawarkan kualitas hidup yang berbeda bagi generasi ini.” Orang Kristen harus menapaki hidup yang teguh dengan prinsip-prinsip kebenaran untuk. melawan generasi yang hidup sesukanya. Kehadiran kita di dunia ini sangat penting di tengah-tengah hilangnya esensi hidup manusia. Namun acap kali kita enggan untuk terlibat dalam kegiatan kemanusiaan. Kita terkesan melarikan diri dari kondisi yang kurang menyenangkan. Kita lebih suka datang ibadah lalu pulang, seolah-olah ibadahlah satu-satunya tujuan yang harus dicapai. Waktu luang kita habiskan untuk bergaul dengan teman-teman yang seiman atau sesuku dan akhirnya terlena dengan aktivitas religius. Seharusnya kehadiran kita di manapun untuk menjadi garam dan terang. Seorang teman saya sering meledek dengan mengatakan bahwa kita jangan menjadi “singa ompong” yang beraninya hanya gereja doang. Ya, kita semestinya ada di semua lini dan strata sosial. Spiritnya hanya satu yaitu agar Injil bisa disampaikan. Membagi kasih dan kepedulian bagi mereka yang membutuhkan. Kehadiran kita juga harus menunjukkan kualitas. Memiliki cara dan gaya hidup yang berbeda. Kita harus berjuang dengan maksimal, keuletan dan kegigihan kita harus nyata di tengah hidup yang serba instant. Kerjakan segala tanggung jawab kita dengan tekun. Di sisi lain, trend zaman memaksa kita untuk semakin konsumtif, kita harus menunjukkan gaya hidup sederhana tanpa ikut menyuburkan semangat ingin selalu trendy namun hampa. Seharusnya kita tidak perlu tampil dengan perangkat teknologi yang trendy melainkan dengan perangkat jiwani yang luhur dan spiritualitas yang mumpuni. Inilah karakter yang menginspirasi hidup yang bermakna.

No comments:

Post a Comment

Subscribe Now: Feed Icon