Wednesday, November 9, 2011

Berseru Tuhan, Tapi Tidak Melakukan Kehendak Tuhan


Pada hari minggu orang Kristen ke gereja. Ini merupakan salah satu upaya orang Kristen membangun spiritualitas. Usaha memperteguh iman dan memperdalam pemahaman doktrinal serta pendewasaan karakter. Mempererat kesatuan di antara tubuh Kristus sehingga terkoneksi dengan harmonis. Menaati perintah Tuhan (Red – “Ingatlah dan kuduskanlah hari sabat” – Keluaran 20:8-11). Menuruti nasehat penulis surat Ibrani (Red – “Janganlah kita menjauhkan diri dari pertemuan-pertemuan ibadah kita, seperti dibiasakan oleh beberapa orang, tetapi marilah kita saling menasehati, dan semakin giat melakukannya menjelang hari Tuhan yang mendekat” – Ibrani 10:25).
Mengikuti seminar, KKR, Jaringan Doa (Red – JD Sedunia, JD Nasional, JD Sekota, JD Keliling dstnya). Pembuktian diri bahwa mereka adalah orang Kristen yang mencintai Tuhan. Semua kegiatan tersebut mulai terabrasi dan tererosi maknanya dari kehidupan ibadah yang dilakoni umat Tuhan. Menjurus hanya sebatas aktivitas berlabel rohani. Asal aktif dan yang penting hadir/terlihat oleh pemimpin/pengurus gereja, lalu latah: merasa telah menjadi orang Kristen yang baik. Berjubel aktivitas dilakoni. Namun semua hanya sebatas rutinitas saja.
Orang Kristen terperangkap dalam serangkaian perjalanan wisata rohani. Pindah dari satu gereja ke gereja lainnya. Bergilir setiap minggunya. Mencari sajian yang sesuai seleranya. Tidak terdaftar sebagai anggota tetap. Gereja dijadikan semacam mall. Hampa makna. Spiritualitasnya malah kadang tidak membuat menjadi lebih berkualitas, radikal dan militan. Justru menjadi candu yang meninabobokan. Eforia ritual semata, gersang dan tidak punya pengaruh.
Kelihatan saleh di gereja, tapi menjadi liar di masyarakat. Katanya gereja adalah wadah untuk mendapatkan pencerahan. Membuka nurani. Mencelikkan mata hati. Faktanya mata hati dan nurani tetap tertutup. Miskin kasih dan belas kasihan. Terampil memuji dan berdoa. Terbelakang dan tertinggal dalam tindakan.
Fenomena ritual rohani yang hampa makna. Miskin dinamika. Lumpuh aksi. Menganggap diri kaya, diberkati dan sukses serta serba ekslusif. Pada hal ia melarat, malang, miskin, buta dan telanjang. Gambaran ini telah dicatat dalam Kitab Suci. Gaya hidup jemaat Laodikia di masa lampau bangkit lagi sekarang – (Red – “Aku tahu segala pekerjaanmu: engkau tidak dingin dan tidak panas. Alangkah baiknya jika engkau dingin atau panas! Jadi karena engkau suam-suam kuku, dan tidak dingin atau panas, Aku akan memuntahkan engkau dari mulut-Ku. Karena engkau berkata: Aku kaya dan aku telah memperkayakan diriku dan aku tidak kekurangan apa-apa, dan karena engkau tidak tahu, bahwa engkau melarat, dan malang, miskin, buta dan telanjang” – Wahyu 3:15-17). Supaya spiritualitas orang Kristen menjadi dinamis, kaya makna dan terdepan dalam tindakan, perlu dilakukan rekonstruksi. Dimulai dari kesadaran personal yang mendalam akan hakekat ibadah yang sejati – (Red – “Ibadah yang murni dan yang tak bercacat di hadapan Allah, Bapa kita, ialah mengunjungi yatim piatu dan janda-janda dalam kesusahan mereka, dan menjaga supaya dirinya sendiri tidak dicemarkan oleh dunia” – Yakobus 1:27). Siap dikoreksi dan diperbaiki oleh Tuhan dan firman-Nya – (Red – “Maka Aku menasihatkan engkau, supaya engkau membeli dari pada-Ku emas yang telah dimurnikan dalam api, agar engkau menjadi kaya, dan juga pakaian putih, supaya engkau memakainya, agar jangan kelihatan ketelanjanganmu yang memalukan; dan lagi minyak untuk melumas matamu, supaya engkau dapat melihat” – Wahyu 3:18). Artinya orang Kristen harus siap bayar harga karena melakukan kehendak dan taat kepada Tuhan serta firman-Nya. Hidup dalam kekudusan di tengah-tengah dunia yang semakin jahat. Menyerahkan diri secara total untuk diurapi dan dipimpin oleh Roh Kudus. Miliki pikiran yang terang. Miliki penampilan yang terang. Miliki perkataan yang terang. Miliki pekerjaan yang terang. Dengan demikian, dunia akan mempermuliakan Bapa kita yang di sorga – Matius 5:16.
Kualitas ibadah Gereja bukan ditentukan oleh seberapa banyak kita beribadah. Bukan pula ditentukan oleh seberapa kuat kita memanggil nama Tuhan. Bukan juga ditentukan oleh seberapa banyak waktu, tenaga dan materi yang sudah kita sumbangkan bagi ibadah kita. Kualitas ibadah kita ditentukan oleh ketaatan dan komitmen kita melakukan firman Tuhan dalam keseharian kita. Dalam hal ini, Gereja harus menampilkan citra diri Kristus dan dengan konsisten hidup dalam kebenaran, berani menyatakan kebenaran dan memberi kesaksian tentang kebenaran. Kebenaran yang mana? Kebenaran tentang perubahan hidup kita yang dikerjakan oleh Kristus melalui kuasa Roh Kudus yang mengubahkan kita menjadi ciptaan baru. “Jadi siapa yang ada di dalam Kristus, ia adalah ciptaan baru: yang lama sudah berlalu, sesungguhnya yang baru sudah datang” – 2 Korintus 5:17.
Bila Gereja Tuhan sudah tepat dan benar memposisikan diri terhadap lingkungan sekitarnya, bahwa dirinya adalah umat pilihan Allah yang telah ditebus oleh Kristus di atas kayu salib dan diutus kembali ke dalam dunia yang berdosa untuk menjadi mandataris/saksi kebenaran karya Allah di dalam Kristus, tentu memiliki dampak yang luar biasa. Gereja akan melihat tangan Tuhan turtu bekerja, mukjizat-mujizat akan terjadi, ibadah tengah minggu, ibadah hari minggu dan ibadah yang lainnya bukan lagi menjadi ibadah rutinitas yang menjemukan. Tetapi ibadah yang hidup. Ibadah yang menjadi selebrasi kesaksian yang hidup dari setiap umat Allah ketika menggeluti hidup sehari-hari dalam dunia di mana mereka beraktivitas. Dari sinilah kuasa Roh Kudus akan meluaskan dan melebarkan jangkauan-Nya dengan mematahkan tembok-tembok ketertutupan, penolakan dan keangkuhan masyarakat yang dibangun oleh Lucifer.

No comments:

Post a Comment

Subscribe Now: Feed Icon