Wednesday, November 9, 2011
Membangun Konsisten Bermakna
Konsistensi di sini bukanlah merujuk pada aktivitas spiritualitas. Bukan juga pada rutinitas kegiatan keagamaan. Konsistensi di sini berbicara tentang penyerapan dan implementasi nilai-nilai Kerajaan Allah dalam keseharian Gereja (red – umat/orang Kristen).
Hal yang ingin dibangun bukanlah umat yang kuat dalam banyak kegiatan pelayanan. Walaupun hal itu penting, baik dan beguna. Bukan saja memotivasi dan membangun kesadaran umat untuk setia bersekutu/beribadah di hari Minggu. Kendati pun hal tersebut tidak salah. Tetapi yang menjadi penekanan di sini, ialah membangun umat yang senantiasa konsisten mengimplementasikan kebenaran firman Tuhan dalam totalitas hidup dan kehadirannya. Ini menjadi kerinduan Tuhan, supaya Gereja-Nya mengalami transformasi dinamis dan semakin serupa dengan Dia. Keserupaan di sini bukan label (red – menjadi Kristen), namun ada perubahan karakter, menghasilkan buah/berdampak bagi sesama dan semakin mendalam menyerap ajaran-ajaran Tuhan.
Ada beberapa hal yang sepatutnya secara konsisten Gereja lakukan. Upaya ini bertujuan agar Gereja bisa menjadi lebih peka akan situasi dan kondisi zaman ini. Lalu memposisikan diri secara tepat dan benar dalam interaksi sosialnya. Akhirnya, Gereja dapat memenangkan jiwa bagi Tuhan.
Pertama, konsisten berpijak pada kebenaran iman Alkitabiah.
Iman Alkitabiah merupakan landasan yang kokoh bagi Gereja untuk mengikut Tuhan. Inilah yang menjadi esensi dari hidup Gereja. Berkaitan dengan hal tersebut, Eva Yunita, dalam buku Pemimpin Muda Peka Zaman, menulis: “Esensi itu sangat penting. Kita bukan orang Kristen yang beragama di awang-awang, tetapi kita beragama yang mendasar. Artinya benar-benar memiliki pijakan yang kuat di atas dasar Firman. Pijakan menjadi kuat jika kita memiliki konsistensi terus mencari yang esensi, yang esensi bisa kita dapatkan jika tekun menggali. Kita bisa tekun menggali jika kita mengasihi Allah dengan sungguh hati dan kita bisa mengasihi jika kita mengenal Allah dengan mendalam. Pengenalan mendalam akan Allah ini hanya bisa terbangun melalui persekutuan yang terus menerus dengan Dia dan (lagi-lagi) ini bisa dibangun jika kita mau konsisten.”
Gereja juga harus sadar bahwa Iblis tidak pernah berhenti mengganggu konsistensinya. Iblis akan berupaya sedemikian rupa sehingga konsistensi Gereja menjadi lemah. Neil Cole, dalam buku Organic Church, berkaitan dengan aktivitas Iblis melemahkan konsistensi Gereja, menulis: “Ia telah hidup sejak permulaan zaman dan telah mempelajari kekuatan dan kelemahan kita. Usahanya yang pertama untuk menghancurkan kehidupan manusia adalah melawan laki-laki dan perempuan yang sempurna yang tidak terhalang oleh sifat dosa dan merupakan bagian dari lingkungan yang sempurna. Dan ia sukses. Sejak saat itu, ia makin menyempurnakan keahliannya. Ia tahu kelemahan dan kerapuhan kita. Ia memiliki sepasukan prajurit yang siap menunggu perintahnya. Ia dan seluruh pasukannya tidak tampak, supernatural, tetapi mengelilingi kita. Mereka telah mengamati kita sepanjang hidup kita.” Betapa Iblis bersama para pasukannya memfokuskan serangan mereka terhadap Gereja. Tujuannya agar Gereja menjadi tidak kuat dan tercerai berai. Untuk menang terhadap Iblis, nasehat rasul Paulus perlu kita perhatikan dan lakukan dengan benar. Rasul Paulus memberi nasehat kepada Gereja di Efesus, yang tentunya nasehat tersebut masih tetap relevan dengan konteks Gereja pada masa kini. Ia menulis demikian: “Akhirnya, hendaklah kamu kuat di dalam Tuhan, di dalam kekuatan kuasa-Nya. Kenakanlah seluruh perlengkapan senjata Allah, supaya kamu dapat bertahan melawan tipu muslihat Iblis; karena perjuangan kita bukanlah melawan darah dan daging, tetapi melawan pemerintah-pemerintah, melawan penguasa-penguasa, melawan penghulu-penghulu dunia yang gelap ini, melawan roh-roh jahat di udara” – Efesus 6:10-12. Lawan Gereja ialah Iblis. Supaya dapat mengalahkan Iblis, Gereja harus kuat di dalam Tuhan, di dalam kekuatan kuasanya. Gereja harus konsisten menggunakan sarana rohani dan hidup di dalamnya.
Kedua, konsisten mempelajari dan melakukan firman Tuhan setiap hari.
Ketika Yesus menghadapi cobaan yang dilancarkan oleh Iblis, Yesus menggunakan firman Tuhan untuk menangkal setiap serangan Iblis. Tim Penyusun Alkitab Hidup Berkelimpahan, berkaitan dengan pencobaan Iblis kepada Yesus, memberikan komentar demikian: “Pencobaan Yesus oleh Iblis adalah usaha untuk membelokkan Yesus dari jalan ketaatan yang sempurna kepada kehendak Allah. Perhatikanlah bahwa dalam setiap pencobaan Yesus tunduk kepada kekuasaan firman Allah dan bukan pada keinginan Iblis (ay. 4, 7, 10).”
Gereja belum terlepas dari godaan Iblis. Strategi dan cara Iblis menjatuhkan Gereja masih tetap sama seperti yang dia lakukan terhadap Yesus. Frekuensi dan intensitas serangannya pun semakin tinggi dan meningkat. Mengingat waktunya sudah semakin singkat. Iblis akan dimasukan ke dalam neraka karena Yesus segera datang untuk menjemput Gereja-Nya.
Gereja dituntut untuk konsisten menerapkan firman Tuhan yang dibaca, didengar dan direnungkannya setiap hari. Inilah senjata paling ampuh untuk melawan serangan gencar Iblis. Yesus sudah membuktikan keampuhan kuasa firman dalam menghadapi godaan Iblis. Terbukti Iblis dikalahkan. Berkaitan dengan hal itu, rasul Paulus dalam suratnya kepada Gereja di Efesus, menulis: “Kenakanlah seluruh perlengkapan senjata Allah, supaya kamu dapat bertahan melawan tipu muslihat Iblis” – Efesus 6:11.
Gereja harus membangun hidupnya di atas landasan rohani yaitu Alkitab atau firman Tuhan. Firman Tuhan harus menjadi pagar tembok untuk membentengi hidup Gereja dari serang musuh. Firman Tuhan harus menjadi terang bagi Gereja di tengah kegelapan dunia ini. Firman Tuhan harus menjadi makanan rohani setiap hari bagi Gereja untuk memberikan pertumbuhan bagi kehidupan spiritualnya. Sehingga Gereja bisa berbuah lebat. Firman Tuhan harus menjadi senjata utama Gereja dalam arena peperangan rohani. Hanya dengan senjata ini, Gereja bisa mengalahkan musuh dan perang dapat dimenangkan. Eva Yunita dalam buku Pemimpin Muda Peka Zaman, menulis: “Intinya Firman diberikan untuk dilakukan. Bukan hanya dilagukan. Bukan hanya untuk dikatakan. Pula bukan hanya diajarkan. Sekali lagi, Firman diberikan untuk dilakukan. Tentu saja, konsisten melakukan Firman dalam keseharian itu sangatlah penting sebab inilah yang akan membuat buah kita menjadi tetap. Memang tidak mudah. Namun, bukan berarti tidak bisa, yang kita perlu lakukan hanyalah konsisten melakukan hal-hal yang sederhana. Firman Allah itu tidak berat, yang membuat berat adalah karena kita tidak memiliki niat yang kuat”.
Gereja harus konsisten membaca dan merenungkan firman Tuhan setiap hari. Alasannya ialah Iblis tidak pernah cuti/libur. Dia aktif kerja setiap hari untuk godai Gereja. Itu sebabnya Gereja harus bangun hidup rohaninya secara benar dan bertanggung jawab.
Ketiga, konsisten berdiam diri (withdrawal) di hadapan Tuhan.
Artinya, kita mengalokasikan waktu bersama Tuhan, supaya kita memiliki hati yang taat kepada Tuhan. Saat kita berkontemplasi di hadapan Allah, kita menciptakan ruang bagi Allah untuk menata ulang orientasi hati dan perspektif hidup kita. Proses rekonstruksi ini penting karena acap kali ruang hati kita terimpit oleh pola pikir dan aksi kita yang serba tidak konsisten.
Untuk dapat berdiam diri di hadapan Allah, kita perlu mendisiplinkan diri dan menarik diri dari segala keramaian. Dari segala sesuatu yang dapat menstimulasi pikiran kita. Berdiam diri di hadapan Allah bukan soal tempat, bukan soal posisi dan bukan pula soal waktu. Berdiam diri adalah soal hati dan pikiran kita. Memfokuskan hati dan pikiran kita kepada Allah.
Lalu apa manfaat yang bisa kita peroleh dari berdiam diri? Paling sedikit, ada tiga manfaat yang bisa kita dapatkan. Pertama, kita bisa dengar Allah bicara kepada kita. Tentunya bukan dengan suara yang audible. Penglihatan yang suram atau yang supranatural. Tapi, suara Pencipta kita. Suara Allah kita. Suara Junjungan kita yang mulia. Suara Juruselamat kita. Suara Roh Kudus Penolong kita. Suara Allah Tritunggal yang mengingatkan, menegur, menguatkan dan menghibur serta mengontrol kita. Kedua, penyerahan diri secara total. Berdiam diri di hadapan Allah menolong kita untuk berserah sepenuhnya kepada Dia. Dalam berdiam diri, kita sedang membiarkan Allah secara total berkarya dalam hidup kita. Dalam berdiam diri, kita sedang mengakui dalam iman kita bahwa Allahlah yang berdaulat total atas hidup kita. Kita mengizinkan Allah memegang kendali dan mengontrol sepenuhnya hidup kita. Ketiga, hidup kita ada perubahan nyata dan tahan lama. Kita bertemu secara pribadi one on one bersama Tuhan. Tidak ada orang lain. Tidak ada apa pun yang kita biarkan mengganggu konsentrasi kita. Seluruh eksistensi kita hanya tertuju pada Allah. Siapapun yang berjumpa dengan Allah secara pribadi pasti mengalami perubahan. Fakta ini telah terbukti sepanjang sejarah Gereja. Contohnya rasul Paulus. Waktu dia bertemu dengan Yesus di jalan ke Damsyik, terjadi perubahan total. Perubahan total ini berlangsung seumur hidupnya. Pengaruhnya tetap hidup sampai hari ini, mengubah hati dan hidup banyak orang.
Allah tidak melarang kita untuk beraktivitas dalam melayani Dia dan sesama. Karena hal itu adalah wujud syukur dan rasa terima kasih kita. Tapi, Allah tidak ingin kegiatan tersebut merampas relasi kita dengan diri-Nya. Allah rindu membangun relasi yang kuat dan mantap dengan kita. Eva Yunita dalam buku Pemimpin Muda Peka Zaman, menulis demikian: “Dia rindu membangun keintiman dengan umat-Nya dan keintiman tidak bisa dilakukan jika kita sibuk dengan aktivitas lain sekalipun berlabel rohani.”
Apabila Gereja konsisten mengimplementasikan hal-hal yang telah dijelaskan di atas, maka Gereja akan menjadi Gereja yang punya pengaruh positif. Gereja akan mampu menghadirkan prinsip dan nilai-nilai Kerajaan Allah dalam komunitas di mana Gereja terutus.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment