Wednesday, November 9, 2011
Menegakkan Keadilan
Keadilan adalah kondisi kebenaran ideal secara moral mengenai sesuatu hal, baik menyangkut benda atau orang. Menurut sebagian besar teori, keadilan memiliki tingkat kepentingan yang besar. Tingkat kepentingan yang besar ini berkaitan dengan kemaslahatan manusia dan hak asasinya. Dalam konteks ini, manusia menuntut untuk diperlakukan secara adil dan manusiawi.
John Rawls, filsuf Amerika Serikat yang dianggap salah satu filsuf politik terkemuka abad ke-20, menyatakan dalam buku A Theory of Justice, bahwa: “Keadilan adalah kelebihan (virtue) pertama dari institusi sosial, sebagaimana halnya kebenaran pada sistem pemikiran”. Tapi, menurut kebanyakan teori juga, keadilan belum lagi tercapai. Alasannya menurut Thomas Nagel, dalam buku The Problem of Global Justice menyatakan bahwa: “Kita tidak hidup di dunia yang adil”. Artinya, untuk mendapatkan keadilan itu menjadi sangat sulit. Pemicu adalah manusia lebih cenderung mengembangkan gaya hidup individualis dan egois.
Dalam Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas, menyatakan bahwa: “Kebanyakan orang percaya bahwa ketidakadilan harus dilawan dan dihukum, dan banyak gerakan sosial dan politis di seluruh dunia yang berjuang menegakkan keadilan. Tapi, banyaknya jumlah dan variasi teori keadilan memberikan pemikiran bahwa tidak jelas apa yang dituntut dari keadilan dan realita ketidakadilan, karena definisi apakah keadilan itu sendiri tidak jelas. keadilan intinya adalah meletakkan segala sesuatunya pada tempatnya.” Calvin memberikan sebuah defenisi yang menarik: “Keadilan berarti, jika itu sesuai dengan kehendak Allah.” Jadi, standar keadilan itu bersumber pada keadilan Allah. Kehendak Allah bagi Gereja ialah agar Gereja melaksanakan misi shalom Allah dengan setia, serius dan konsisten. Ini berarti Gereja sedang melakukan keadilan.
Dalam semua lini kehidupan sekarang ini, sedang terjadi krisis keadilan. Lembaga Peradilan sebagai tempat keadilan ditegakkan, kini tidak berdaya khususnya di negara Indonesia. Pemimpinnya penuh dengan perilaku korup. Bertindak tidak adil. Hukum tidak ditegakkan berdasarkan kebenaran dan keadilan. Di mana-mana, orang sedang mencari keadilan.
Gereja di zaman ini ada ditengah situasi seperti di atas. Gereja merupakan institusi ilahi. Sebagai institusi ilahi, tentu Gereja merupakan representative Allah kepada dunia. Implikasinya adalah Gereja harus menghadirkan keadilan Allah dalam mekanisme pelayanannya. Mekanisme ini bisa terlihat dalam relasi Gereja baik secara internal maupun eksternal.
Sebagai institusi ilahi, Gereja tentu punya pilar-pilar keadilan. Pilar-pilar keadilan ini tidak dibangun oleh Gereja. Namun, pilar-pilar tentang keadilan sudah diletakkan oleh Allah. Untuk itu, Gereja perlu berkaca kepada pilar-pilar keadilan yang telah ditegakkan dan dilakukan oleh Yesus selama pelayanan-Nya di dunia ini. Pilar-pilar dimaksud sudah tercatat dalam Injil. Apa saja pilar-pilar keadilan yang telah ditinggalkan oleh Yesus, untuk diikuti oleh Gereja di zaman ini?
Yesus Membuka Kran Batas Teritorial
Sejak dini, Matius telah membedah sekat-sekat pemisah. Perihal yang semula dipandang sebagai wilayah asing, bahkan musuh, dipeluk oleh Yesus. Kita dapat mengambil beberapa contoh. Cermati silsilah Yesus dalam Injil Matius 1:1-17.
Meski masih ditulis dalam struktur patriakhal, Matius melakukan pemelintiran. Ia memasukkan empat nama perempuan yang aneh kisah hidup mereka (Rahab, Rut, istri Uria dan Maria). Demikian juga kisah kaum Majusi – Matius 2:1-12. Kemudian, dalam pelayanan Yesus, kita temukan lingkaran yang lebih luas, “Maka orang banyak berbondong-bondong mengikuti Dia. Mereka datang dari Galilea dan dari Dekapolis, dari Yerusalem dan dari Yudea dan dari seberang Yordan” – Matius 4:25. Ingat juga kisah perempuan Kanaan yang percaya – Matius 15:21-28. Yesus dalam Injil Matius mendefinisi ulang kode kekudusan yang dicirikan oleh pengucilan, dan menyingkirkan batas-batas teritorial.
Gereja harus bercermin kepada pola pelayanan Yesus Kristus. Membuka mata untuk melihat apa yang tidak dilirik oleh dunia ini. Melapangkan hatinya untuk memberi tempat kepada mereka yang tidak mendapat tempat dalam masyarakat. Ada ruang khusus di hati Gereja bagi mereka yang dikucilkan secara sosial. Gereja harus menjadi tempat untuk menampung mereka yang tidak diterima oleh sesamanya karena percaya dan menerima Yesus sebagai Tuhan dan Juruselamat pribadi. Berkaitan dengan hal ini, Eka Darmaputera dalam buku Pergulatan Kehadiran Kristen di Indonesia, menulis demikian: “Di beberapa daerah tertentu, percaya kepada Kristus kadang-kadang diasingkan, diancam, dianiaya, dipecat dari pekerjaan, dimatikan sumber penghasilan, dan sebagainya. Kita tidak dapat sekadar mengatakan bahwa itulah salib yang harus mereka pikul. Apakah dapat kita lakukan bila ini terjadi? Dan menurut keyakinan saya, kita tidak boleh hanya memikirkan kalau sekiranya itu adalah akibat dari PI yang kita lakukan saja. Kita juga mempunyai kemampuan untuk menolong mereka yang mengalami ini…”.
Mencermati gagasan Eka Darmaputera di atas, maka Gereja dalam rangka melaksanakan misinya harus melakukannya secara berkeadilan. Artinya, Gereja harus memberikan support sepenuh-penuhnya bagi mereka yang ditolak oleh lingkungannya karena Iman kepada Tuhan Yesus Kristus.
Yesus Melampaui Batas Tembok Bait Suci
Keikutsertaan dan tempat umat di Bait Suci bergantung pada strata sosial mereka. Pada waktu Matius ditulis, Bait Suci telah roboh dan digantikan sinagoga, dalam pada itu sistem klasifikasi baru dibutuhkan untuk menentukan siapa yang termasuk dalam “Keanggotaan Israel.”
Yesus dalam Matius menghadapi para pemimpin agama, “Di sini ada yang melebihi Bait Allah” – Matius 12:6. Kemurahan hati ditempatkan di atas peraturan agama, Sabat dan ritual-ritual. Tergambar dengan jelas pula ketika Yesus memasuki Yerusalem. Ia tengah memasuki pusat pemerintahan Romawi yang ditahbiskan dengan legitimasi kursi keagamaan sebagai pemimpin rohani, politik dan ekonomi.
Yesus “mengusir” dan “membalikkan” praktik-praktik serta kuasa-kuasa yang merendahkan integritas Bait Suci, dengan tujuan mempersembahkannya ulang dengan kekudusan yang otentik. Teolog feminis Letty M. Russell menulis, “Like Jesus in the temple, those who are ‘house revolutionaries’ do not wish to destroy the house of authority. Quite contrary, they wish to build up again a new house in which the authority of God’s love and care for outsiders is clearly seen.” Ketika pemerintahan Allah yang dicirikan kemurahan itu hadir, keadilan akan memenuhi keluarga baru yang dicita-citakan Yesus – yang “di luar” dipeluk dan diterima sebagai anggota “di dalam”! Bait suci harus menjadi pusat pengajaran. Alkitab harus menjadi sumber pengajaran utama bagi umat. Gereja diperlengkapi untuk melayani. Gereja dimobilisasi untuk menjangkau mereka yang ada di luar tembok bangunan gereja. Membawa mereka untuk masuk ke dalam komunitas kerajaan Allah. Bukan saling berebut domba. Tapi dengan cerdik dan tulus merebut “serigala”, dan menjadikannya domba, lalu dia juga kembali merebut “serigala liar” yang ada di luar dinding Bait Suci/Gedung Gereja.
Dalam kaitan dengan hal itu, Eka Darmaputera dalam buku Pergulatan Kehadiran Kristen di Indonesia menulis demikian: “Untuk itu, maka tentu saja dibutuhkan pembinaan bagi warga gereja tentang penginjilan. Ini amat sangat penting! Memotivasi dan memobilisasi warga jemaat untuk penginjilan. Membina dan melatih mereka tidak seperti kita melatih salesman – taktik dan keterampilan. Tapi motivasi yang jelas dan benar. Sekali lagi tujuan PI bukanlah sekadar menjadikan barang dagangan kita laris (untuk keuntungan kita yang menjualnya), namun menjadikan orang menyadari bahwa barang yang kita tawarkan itulah yang sebenarnya mereka butuhkan, dan oleh karena itu merupakan proses penyadaran demiki kepentingan mereka sendiri! PI harus dilaksanakan ‘dari iman kepada iman’ – menyaksikan apa yang kita sendiri terlebih dahulu meyakini dan mengalaminya.”
Supaya Gereja dapat fungsional dalam masyarakat, maka Gereja perlu dipersiapkan, dilengkapi, dan dilatih. Tujuannya ialah agar Gereja mampu membawa shalom Allah ke dalam komunitasnya. Lalu dalam kasih yang tulus merangkul dan menerima “mereka” yang ada di luar kasih karunia Allah dan membawanya masuk ke dalam kasih karunia Allah.
Yesus Mengamandemen Hukum Taurat
Tujuan Taurat adalah terciptanya jalinan yang adil bagi semua manusia. Keruntuhan Bait Suci menyebabkan golongan Sanhedrin musnah, dan untuk menjaga identitas ini, maka sejumlah Farisi menahbiskan persidangan di kota Jamnia dengan penekanan baru dan makin ketat atas hukum Taurat. Esensi hukum Taurat itu diabaikan dan menjadikannya untuk melegalkan kepentingan mereka.
Yesus datang bukan saja untuk mematuhi dan memenuhi Taurat – Matius 5:17-19. Tetapi Yesus menggemakan berita para nabi – melalui keadilan yang berpelukan dengan kemurahan sebagai wujud bertakhtanya kekudusan pemerintahan Allah. Khotbah di Bukit – Matius pasal 5-7, merupakan sentral visi berita pendefinisian ulang Taurat. Anggota keluarga baru ini harus berdamai dengan lawan-lawan. Mereka harus meneguhkan kesetiaan hidup dalam pernikahan. Mereka tidak mengambil sumpah. Mereka diundang untuk berpantang kekerasan. Mereka harus berdoa untuk musuh-musuh dan para penganiaya. Dengan jalan ini, mereka adalah anak-anak Bapa yang di surga.
Gereja mau tidak mau harus mengikuti pola dasar keadilan yang telah diletakkan oleh Yesus. Spirit keadilan dimaksud menuntut adanya pengorbanan dari Gereja demi tumbuhnya keadilan dalam tatanan sosial. Hukum Taurat yang dibangun dan dihidupi dalam kasih karunia Allah memiliki pengaruh yang besar dalam penegakkan keadilan dalam semua level kehidupan.
Yesus Memberi Undangan Meja Egaliter
Bagi kaum Yahudi anggota konsili Jamnia, perjamuan meja merupakan bentuk mini dari komunitas ideal yang dicita-citakan, yang mencerminkan tatanan sosial atau struktur keadilan bagi bangsa Israel. Meja itu hanya milik mereka. Meja itu sangat “eksklusif.”Di luar mereka, tidak diijinkan orang lain untuk semeja, apalagi sehidangan dengan mereka. Itu haram hukumnya.
Sedangkan di Injil Matius, Yesus – walau menerima ide dasar dari visi perjamuan meja di atas – melangkah lebih jauh. Perjamuan meja bagi Yesus berpusat pada martabat kemanusiaan dan tata hidup yang dilambari kemurahan. Sebab itu, Yesus bersedia duduk semeja dengan “pemungut cukai dan orang berdosa” – Matius 9:10.
Yesus melawan tatanan sosial. Ia membalikkan jamuan yang mengindikasikan prestise sosial dan membuka meja bagi semua. Berbagi santapan di satu meja menyimbolkan kesetaraan dengan mereka; maka dengan mengundang kaum marjinal ke meja perjamuan, telah membuat mereka setara. Jika kaum Farisi dan ahli Taurat sebagai “orang dalam” membatasi siapa yang boleh datang ke meja, Yesus menantang mereka bahwa mereka pun pada akhirnya akan dicampakkan dalam perjamuan Kerajaan Allah – Matius 8:11-12.
Gereja harus menggelar meja keadilan untuk dan bagi semua kalangan. Gereja tidak boleh lepas dari prinsip dan nilai-nilai keadilan yang sudah diwujudkan oleh Yesus selama pelayanan-Nya di dunia ini. Gereja tidak boleh eksklusif dan menguasai sendiri meja itu. Sebaliknya, Gereja mengupayakan apa yang terbaik bagi dunia ini dalam terang apa yang direncanakan dan dikehendaki Allah bagi dunia ini. Artinya, Gereja harus menentang ketidakadilan. Menantang roh-roh dunia dan zaman yang cenderung menghanyutkan manusia ke arah praktek hidup yang arogan dan tidak berkeadilan.
Yesus Menjamah Kaum Tebuang
Tubuh yang sehat atau sakit dapat membuat seseorang diterima atau ditolak dalam interaksi sosial yang lebih besar pada zaman Yesus. Seorang imam berkuasa untuk mendefinisikan seseorang sehat atau sakit – dan karena itu, tahir atau tidak tahir.
Penyembuhan Yesus yang pertama dalam Injil Matius adalah penyembuhan kepada seorang kusta – Matius 8:1-4. Kusta merupakan penyakit yang paling ditakuti pada masa itu. Dengan menempatkan penyembuhan seorang kusta sebagai mukjizat pertama Yesus, Matius bermaksud memotret Yesus, sebagai Pribadi yang dengan jamahan tangannya yang penuh kasih, meruntuhkan batas-batas kasta masyarakat dan menjadikan kaum yang paling terasing di mata publik menjadi pulih dan dapat diterima kembali. Di mata Matius, di dalam tindakan penyembuhan dan pemulihan yang dilakukan Yesus termaktub kekudusan serta pemerintahan Allah, dan dengan jalan ini era mesianik yang ditandai oleh kemurahan telah hadir.
Gereja harus tampil sebagai pembela bagi kaum marjinal. Menegakkan hak-hak sipil. Sebagi wujud dari komitmen Gereja menegakkan keadilan. Gereja harus membuka mata dan hatinya untuk mereka yang dianggap “sampah.” Gereja tidak boleh alergi terhadap mereka.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment