Wednesday, November 9, 2011

Analisa Pemikiran Postmodernisme

Dari enam asas utama postmodenisme di atas dapat diketahui, betapa manusia postmodernis memandang sesuatu selalu dari perspektif idealis, bukan realis. Pada tataran realita tidak mungkin akan kita dapati praksis yang sesuai dengan teori postmodernisme. Jika setiap orang memaksakannya di alam realita, maka kehancuran yang terjadi, bukan perdamaian. Ruang gerak seseorang tidak boleh dibatasi oleh suatu hal prinsip yang permanen, tanpa landasan standar logika yang pasti. Ini hal yang mustahil. Karena banyak hal prinsip dan paten (permanen) yang secara necessary preponderances harus diterima oleh manusia yang berakal sehat. Jika dilihat dari sisi epistemologis, skala berpikir yang disodorkan oleh teori postmodernis sangatlah dangkal. Banyak paradoksi yang akan kita dapati dari teori tersebut. Jika dipaksakan pada tataran praksis akan terjadi apa yang disebut dengan “nihilisme”, kekosongan. Kosong dari prinsip, ideologi, argumentasi rasional, logika sehat, pemahaman teks, konsep beragama dan sebagainya. Menurut keyakinan postmodernisme, tidak ada satu hal pun yang bersifat universal dan permanen. Sedang di sisi lain, doktrin mereka, manusia selalu dituntut untuk selalu mengadakan pergolakan. Lantas, bagaimana mungkin manusia akan selalu mengadakan pergolakan, sementara tidak ada tolok ukur jelas dalam penentuan kebenaran akan pergolakan?. Bagaimana mungkin manusia selalu mengkritisi segala argumentasi yang muncul, sedang tidak ada tolok ukur kebenaran berpikir?. Bagaimana mungkin manusia bisa beragama, sedang konsep beragama harus dibarengi dengan keimanan, sementara menurut postmodernis tidak ada keimanan dan keyakinan universal dan permanen?. Dan masih banyak lagi persoalan-persoalan yang bisa dimunculkan dari asas-asas dasar postmodernisme. Salah satu masalah prinsip yang bisa dilontar balikkan kepada para pendukung aliran ini ialah adakah asas-asas postmmodernisme bersifat universal atau permanen?. Pasti – berdasar pondasi pemikiran mereka – jawabannya negatif, berarti postmodernisme tidak memiliki asas-asas yang jelas (baca: universal dan permanen). Bagaimana mungkin akal sehat manusia dapat menerima sesuatu yang tidak jelas asas dan landasannya? Jika jawaban mereka positif, maka bertentangan dengan statemen mereka sendiri. Sebagaimana postmodernis selalu menekankan untuk mengingkari dan menentang hal-hal yang bersifat universal dan permanen. Maka atas dasar postmodernisme pula seseorang dapat menggugat ke-universal-an dan ke-permanen-an asas-asasnya yang telah mereka sepakati. Atas dasar pemikiran postmodernisme, kita menolak postmodernisme. Alasannya, postmodernisme tidak meyakini adanya prinsip logika baku dalam menentukan standard kebenaran berpikir dan relativitas kebenaran. Ini fakta dari sekian banyak kerancuan berpikir dalam konsep postmodernisme. Lantas, apakah mungkin sebagai manusia beragama kita dapat menerima konsep tersebut?. Para pengikut postmodernisme meyakini pengetahuan agama tidak berbeda dengan pengetahuan-pengetahuan lain. Kritisi atas semua ajaran agama, merupakan titik kesamaan antara budaya modernis dan postmodernis. Postmodernisme dalam menilai agama sangat radikal dibanding dengan modernisme. Maka penekanannya atas sekularisme terhadap beragama lebih besar. Walaupun sebagian pengikut postmodernisme seperti John Milbank berusaha untuk mencari pembenaran. Semakin kuat tertanam asas-asas postmodernisme pada diri seseorang, menyebabkan ia semakin jauh dari konsep beragama. Belum lagi ideologi liberalisme radikal mereka yang terus berusaha untuk meminimalisasi semua pembatas, termasuk batas-batas yang telah Tuhan tentukan dalam agama. Dalam konsep etika menurut kacamata postmodernisme pun akan dapat ditemui banyak sekali kejanggalan. Penganut postmodernisme meyakini, kesepakatan etika yang obyektif dan bersifat universal adalah sesuatu yang mustahil diraih. Hanya kesepakatan kelompok tertentu saja yang mungkin saja terjadi. Kesepakatan jenis itu saja yang dapat menjadi sumber dan legalitas hukum. Legalitas hukum bersumber pada demokrasi, yang tidak permanen sesuai dengan perubahan situasi dan kondisi. Setiap individu menentukan sendiri norma etika. Konsep etika merupakan hal subyektif yang bersifat relative, sehingga menjadi rumit dan tidak dapat dikenal. Individu bisa mengaku bahwa perilaku dirinya ditentukan oleh konsep etika yang cocok dengan dirinya. Jika itu diterapkan, dapat diperkirakan apa yang bakal terjadi di tengah-tengah komunitas manusia yang heterogen. Terlampau banyak konsekuensi-konsekuensi pahit yang harus diterima ketika konsep postmodernisme diterima.

No comments:

Post a Comment

Subscribe Now: Feed Icon