Wednesday, November 9, 2011

Landasan Pemikiran Postmodernisme

Aliran pemikiran di Barat selalu bertumpu pada empat pola pemikiran, yaitu: epistemologi materialisme, humanisme, liberalisme dan sekularisme. Pemikiran postmodernisme berlandaskan pada empat pemikiran tersebut. Dikarenakan manusia Barat berpikir atas dasar epistemologi materialis sehingga berakhir pada anggapan bahwa manusia adalah simbol kesempurnaan. Dari sinilah muncul pemikiran Humanisme. Ungkapan “aku berpikir, maka aku ada” adalah perwujudan dari pemikiran di atas. Karena manusia memiliki rasio, maka ia bisa menjadi poros alam. Jadi, rasiolah yang menjadi pusat kesempurnaan manusia. Selain itu, manusia juga memiliki kebebasan berkehendak (free will) yang tidak boleh dihalangi, demi kemajuan manusia. Maka berdasarkan rasio dan kebebasan inilah muncul pemikiran liberalisme yang berarti meminimalir secara optimal batas gerak manusia. Pembatas gerak manusia dapat terwujud dalam berbagai bentuk, seperti adat istiadat, kebiasaan maupun norma agama. Sekularisme yang berarti pembatasan dan meminimilkan campur tangan agama pada kehidupan manusia. Walaupun muncul berbagai persepsi yang berbeda-beda tentang postmodernisme, namun ada satu kesamaan di antara semua persepsi tadi, asas-asas pemikiran postmodernisme. Selain bertumpu pada empat hal di atas, aliran ini juga bertumpu pada enam hal dibawah ini, yang mana antara satu dengan yang lain terdapat kaitan yang amat erat. a. Tidak mengakui rasio universal. Para penganut postmodernisme beranggapan, tidak ada realita yang bernama rasio universal. Yang ada adalah relativitas dari eksistensi plural. Oleh karenanya, mereka berusaha merubah cara berpikir dari “totalizing” menuju “pluralistic and open democracy” dalam segala aspek kehidupan, termasuk berkaitan dengan agama. Dari sini dapat diketahui, betapa postmodernisme sangat bertumpu pada pemikiran individualisme sehingga dari situlah muncul relativisme dalam pemikiran seorang postmodernis. b. Menolak konsep fundamental universal. Manusia postmodernis beranggapan, hanya melalui proses berpikir yang dapat membedakan manusia dengan makhluk lain. Oleh karena itu, jika pemikiran manusia selalu terjadi perubahan, maka perubahan tadi secara otomatis akan dapat menjadi penggerak untuk perubahan dalam disiplin lain. Dari sini jelas sekali bahwa postmodernisme menolak segala bentuk konsep fundamental—bersifat universal—yang memiliki nilai sakralitas dan yang menjadi tumpuan konsep-konsep lainnya. Manusia postmodernis diharuskan selalu kritis dalam menghadapi semua permasalahan, termasuk dalam mengkritisi prinsip-prinsip dasar agama. c. Semua jenis ideology ditolak. Selayaknya dalam konsep berideologi, ruang lingkup dan gerak manusia akan selalu dibatasi dengan mata rantai keyakinan prinsip yang permanen. Sedang setiap prinsip permanen dengan tegas ditolak oleh kalangan postmodernis. Oleh karenanya, manusia postmodernis tidak boleh terikat pada ideologi permanen apapun, termasuk ideologi agama. d. Setiap eksistensi obyektif dan permanen diingkari. Atas dasar pemikiran relativisme yang mereka yakini, manusia postmodernis berusaha meyakinkan bahwa tidak ada tolok ukur sejati dalam penentuan obyektifitas dan hakekat kebenaran. Tuhan yang dianggap sakral oleh manusia agamis pun mereka ingkari. Ungkapan Nietzsche “God is Dead” atau ungkapan lain seperti “The Christian God has ceased to be believable”, terus merebak dan semakin digemari oleh banyak kalangan di banyak negara Barat, sebagai bukti atas usaha propaganda mereka. Ingat, ungkapan mereka selalu dikaitkan ke semua agama, secara khusus agama Kristen. e. Kritik tajam atas semua jenis epistemologi. Kritik tajam secara terbuka merupakan asas pemikiran filsafat postmodernisme. Pemikiran ataupun setiap postulat – yang bersifat prinsip – dalam kaitannya dengan keuniversalan, kausalitas, kepastian dan sejenisnya akan diingkari. Berbeda halnya pada zaman modernis, semua itu dapat diterima oleh manusia modernis. Tentu, hal itu bukan berarti bahwa semua pemikiran yang dulu terdapat pada masa modernisme ditolak mentah-mentah oleh postmodernisme. Rencana postmodernisme pada kasus tersebut adalah dalam rangka menafsirkan kembali dan mengevaluasi segala pemikiran yang pernah diterima pada masa modernisme. Caranya ialah dengan mengkritisi dan menguji ulang. Henry Girao, seorang interpretator postmodernisme mengatakan, "Tugas filsafat adalah untuk meminimilir kedekatan jarak antara modernisme dan postmodernisme, terutama dalam bidang tujuan maupun target pendidikan dan pengajaran." f. Menggunakan standar logika yang tidak baku dalam berargumen. Dengan kata lain, para manusia postmodernis cenderung menggunakan metodologi berpikir “asal comot” tanpa dasar standar logika yang jelas. Konsep berfilsafat dalam era postmodernisme adalah hasil penggabungan dari berbagai jenis pondasi pemikiran. Mereka tidak mau terpenjara dan terjebak dalam satu bentuk pondasi pemikiran filsafat tertentu. Hal ini mereka lakukan demi menentang kaum tradisional yang selama ini mereka anggap tidak memiliki pemikiran maju karena mengacu pada satu asas pemikiran saja. Padahal tanpa mereka sadari, pengadopsian berbagai pondasi pemikiran sangat rawan dalam kesalahan berpikir. Itulah yang sekarang ini dihadapi oleh para pendukung postmodernisme, pemikiran yang paradoksi. Untuk menutupi rasa malunya, para pendukung postmodernisme–seperti Rorty menganggap bahwa apa yang mereka dapati sekarang ini adalah apa yang disebut dengan post philosophy, puncak perbedaan dengan filsafat modernis. Dengan jenis filsafat inilah, mereka ingin meyakinkan masyarakat dunia. Dengan berpegangan pada konsep dan ideologi tersebut mereka akan dapat meraih berbagai hal yang menjadi impian dalam kehidupannya. Namun, mereka tetap tidak dapat lari dan bersembunyi dari segala bentuk paradoksi pemikiran yang selalu menghantui dan menghadangnya.

No comments:

Post a Comment

Subscribe Now: Feed Icon